Sabtu, 18 Juni 2011

Naskah Pemenang Lomba Menulis Kisah Inspiratif Berhadiah Umroh 2009


Hanya Tiga Lembar untuk Masjid
Alimin

Kulitnya keriput, penuh tanda penuaan. Sisa-sisa sepuhan matahari nampak jelas tergurat di setiap jengkal kulitnya yang telanjang tak tertutup . Gerobak sampah yang hampir seusia dengannya selalu setia menemani. Bolehlah dikatakan Gerobak ini adalah isteri kedua dalam hidupnya. Kekasih pertamanya juga senantiasa membersamai, perjalanan panjangnya. Jadilah kisah asmara cinta segi tiga sepanjang usia. Amaq Muli, Inaq Muli dan sang Gerobak.
Tulisan ini tidak akan membahas Cinta segi tiga. Tetapi ingin berbagi tentang sepenggal kisah sepasang suami istri yang hampir setahun ku kenal, dengan banyak kisah yang menginspirasi.
Muhammad itulah nama yang tersemat, di balik sosok tegar dan semangat ini, meskipun usianya sudah sangat tua. Amaq Muli begitulah panggilan akrab Bapak tua yang sudah melewati 80 tahun kehidupannya. Orang-orang tak pernah menanyakan apa pasal yang menyebabkan metamorfosa nama dari Muhammad ke Amaq Muli. Muhammad adalah nama yang sudah ada sejak ia mengetahui nama itu menjadi panggilan dari orang-orang di sekitarnya. Sejak kecil sudah yatim, alamlah yang banyak menempanya. Orang-orang tangguhlah yang bersedia membimbing dan ‘sedikit’ menanggung nestapanya. Termasuk dalam urusan jodoh, yang mengantarkannya menikah dua kali. Menikah dua kali adalah pilihan hidup yang harus dijalani, kerena isteri pertamanya harus lebih dulu kembali keharibaan Pencipta. Jadilah Isteri kedua yang menjadi teman sejatinya sampai kini.
Bersama istrinya tercinta selepas sholat subuh di masjid. Amaq Muli langsung keluar rumah menenteng gerobak sampah. Menelusuri gang demi gang, jalan, dan perkampungan. Ribuan langkah telah ia tapaki untuk mempersembahkan sebuah kebaikan dan manfaat untuk banyak orang, kebersihan!. Di usianya yang menginjak kepala delapan, tak pelak banyak kisah yang harus dilewati. Pengalaman pahit yang harus direguk juga pernah mampir di kehidupannya, yang menyebabkan berkurangnya fungsi indera pendengarannya. Sehingga butuh kesabaran ekstra untuk berdialog dengan kakek yang tidak pernah ingin menjadi peminta-minta di jalanan. Sabar untuk berteriak sedikit, dan sabar untuk mencerna bahasa daerahnya bagi orang-orang yang ingin mengajaknya berbahasa Indonesia.
Tengah hari yang terik, Amaq Muli berjalan melewati jalan kota. Untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak. Saat itulah sebuah kendaraan roda empat melaju kencang dan ‘mungkin’ tak sengaja menabraknya dari belakang . Menyebabkan gerobaknya terbalik dan Amaq terpelanting keras tak sadarkan diri. Setelah tersadar, Amaq mengalami gangguan pendengaran sampai saat ini.
Hampir separuh usianya ia abdikan untuk menjadi petugas kebersihan kota. Walau anaknya sudah pernah meminta berhenti, dan istirahat di rumah mungil yang dibeli dari hasil jerih payahnya selama ini. Namun Amaq dan Inaq Muli tetap memilih untuk meneruskan pekerjaan yang menurut mereka adalah pekerjaan mulia. Karena pekerjaanya yang mulia itulah ia menjadi salah satu orang yang berjasa mempersembahkan Adipura bagi kota Mataram. Tentu dampaknya adalah citra baik bagi Bapak Wali Kota. Benar saja, penghargaan ini tidak pernah menjadi perhatian besar bagi para petugas kebersihan kota. Termasuk Amaq Muli dan istrinya. Karena hal terpenting bagi mereka berdua adalah bagaimana agar buah hati mereka bisa mengenyam pendidikan, dan tak bernasib sama seperti mereka.
Hampir semua orang se-Kelurahan Taman Sari Kecamatan Ampenan Kota Mataram, mengenal Amaq. Bukan karena penghargaan Adipura, tapi karena seringnya menyambangi  rumah-rumah penduduk. Untuk mengambil sampah yang sudah dikarung rapih oleh yang punya rumah.
Anak dari buah pernikahan Amaq dan Inaq Muli sekarang sudah jadi ‘orang’-istilahnya Amaq- walau tak menjadi pejabat tinggi, yang penting tetap bersyukur tidak korupsi. Tiga buah hatinya yaitu Rahmat, Omat dan Nuri tidak meneruskan profesi nya. Rahmat dan Omat menjadi supir pribadi pejabat, sedangkan Nuri sekarang berada di Jakarta bersama suaminya juga memperoleh pekerjaan yang layak. Itulah perubahan besar yang tetap dan akan selalu disyukuri Amaq dan Inaq Muli. Namun satu hal yang tak pernah berubah di kehidupan mereka, yaitu ketegaran menikmati pekerjaan mereka menjadi petugas pembawa gerobak. Sampai kapan? Mereka dan akupun juga tak pernah tahu. Sampai keputusan pencipta memutuskannya. Keikhlasan, ketabahan dan kerja keras telah menempa hidup keduanya. Kepada mereka orang banyak belajar bersyukur dan belajar menderma.
Suatu siang, Amaq dan Inaq dengan tampilan rapih ‘ukuran’ petugas kebersihan kota, datang menyambangi rumah mertuaku. Gerobak tuanya dibiarkan di luar pekarangan. Terseok tapi pelan Amaq bersama sang Istri tercinta memasuki pekarangan rumah. Sebuah buntalan kecil di keluarkan dari kantong celana lusuhnya. Buntalan dari tas kresek bekas, warna hitam yang sudah pudar itu diserahkan dengan hati-hati  kepada Bapak Mertuaku. “Cuma niqi klueq tbauq sumbang pak Aji!” Ucapnya lembut agak serak. Langsung pamit, melangkahkan kaki menuju tempat-tempat kantong sampah yang sudah menanti sejak pagi buta. “Terima kasih Amaq Muli” ucap Bapak. Walau mungkin ucapan itu tak terdengar oleh Inaq dan Amaq Muli.
Dengan pelan bapak membuka buntalan kecil, yang berisi tiga lembar uang seratusan ribu rupiah. Bapak yang waktu itu menjabat sebagai Bendahara pembangunan Masjid berulang kali bertasbih “Subhanallah!” . Betapa, tak disangka Amaq Muli  yang sehari-harinya harus berkotor-kotor, bercengkrama dengan bau busuk, harus hidup prihatin dan ala kadarnya juga ikut berpartisipasi untuk pembangunan Masjid yang sedang dalam tahap pemugaran. Padahal kebanyakan tetangga masjid yang lain perlu berpikir berkali-kali untuk menyumbang ke masjid dengan nominal yang sama sebagai mana yang disumbangkan Amaq Muli. Cerita ini terus saja diulang-ulang oleh Bapak mertuaku saat kami berkumpul bersama di rumah. Subhanallah!
Harapan istimewa yang dimiliki Amaq Muli dalam hidupnya adalah keinginan besarnya untuk naik haji. “Mungkin Cuma do’a yang bisa kita panjatkan agar bisa ke Mekah” ucapnya lirih saat aku menyambangi rumahnya yang mungil. “Tapi kita kan dapat pahala niatnya kan?” katanya menghibur diri. Aku hanya bisa mengangguk pelan dan mencoba menyesali jika terlanjur bertanya, yang akan di jawab “Meleq sih ite, lamun araq kepeng!”. Uang yang terkumpul dari awal menarik gerobak hanya cukup untuk mempertahankan nasib sekolah anak-anaknya, selainnya adalah untuk meneruskan kehidupan. Kehidupan yang akan terus dilaluinya dengan menarik gerobak, menelusuri gang-gang kecil, berselimutkan terik mentari dan terkadang radangnya hujan. Hingga waktulah yang akan menentukan kemudian.

Amaq : Bapak (Bahasa Sasak, Lombok)
Inaq : Ibu
Cuma niqi klueq tbauq sumbang pak Aji : Cuma ini yang bisa disumbang pak Haji
Meleq sih ite, lamun araq kepeng : Mau sih kita, kalau ada uang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar