Sabtu, 25 Juni 2011

ANISA, based trus story


ANISA

Prolog:

20 tahun silam.
“Tolong lah dok, masa iya saya tidak lulus. Bukankah kemarin saya sudah dinyatakan lulus ujian dan dijanjikan hari ini kelulusan diumumkan”
Satu dan hanya satu-satunya calon mahasiswi dokter kandungan menangis pilu, dengan jilbab tidak karuan. Ia mengiba agar para penguji bisa meluluskannya, demi sebuah cita-cita dan keinginan yang besar. Rupanya konspirasi besar para calon dokter kandungan yang siap lulus membuat satu-satunya calon mahasiswi itu tidak lulus. Satu alasan, perempuan tidak akan diterima di jurusan yang sudah turun temurun meluluskan dokter kandungan dari kaum adam, padahal pekerjaan mereka setiap praktiknya adalah ‘menyingkap’ aurat kaum wanita. Prempuan tadi berurai air mata, menangis pilu meninggalkan kampus suram yang tak mengijinkannya menyulam mimpi dan cita-cita besar orang tuanya.
“kalian semua tak akan mendapatkan kebahagiaan, seperti apa yang kalian lakukan padaku!” pekik serupa kutukan gadis itu  menusuk seluruh sendi, nadi yang mendengarnya kala itu. Tapi tak satupun dari mereka yang acuh, hanya bersungut dan memendam amarah. Marah karena apa?
***
“Hamil Dok?” Wajah pias perempuan berusia 33 tahun terpekik lirih penuh Tanya.
“Alhamdulillah, Syukur Ya Allah. Perempuan itu kemudian tersungkur, lemah bersujud di lantai tempat ia berdiri tadi. Dokter Razak menatapnya datar, tak bergeming. Begitulah cara sang dokter jika ia menemukan guratan gembira pada setiap pasienya. Nun jauh di sana, di lubuk hatinya ada serpihan yang tiba-tiba terberai, sakit!
Sang wanita bangkit dari sujudnya, dengan segera mengamit tangan dokter kandungan yang sudah mengarungi profesinya selama hampir 10 tahun. “Ya ya…selamat bu selamat!” Senyum yang terpaksa dikulum demi etika pelayanan. Sekaligus perih yang mencabik-cabik jantung pertahanannya. Pasiennya masih tersisa 1 orang lagi. Jarum jam yang terletak persis di depan Alat USG menunjukan pukul 22.00.
“Bu Anisa!” Panggil asisten klinik. Seorang wanita muda berusia kira-kira 17 tahun perlahan bangkit dan memasuki ruang periksa. Tak ada yang menemani, matanya terlihat sembab, mungkin baru menangis.
“Mbak keluhannya apa?” Tanya dokter Razak.
 “Sa ..saya mau periksa dok!”.
“Iya saya tahu, maaf ada keluhan apa?”. Perempuan muda tadi hampir saja berteriak, tapi ditahannya.
“Dokter  ini kalau mau periksa, periksa saja nanti juga ketahuan apa-apanya!, gumam  Anisa.
Sang asisten dengan cekatan, mempersilahkan perempuan muda itu berbaring lalu menyingkap pakaian  Anisa.
“Santai saja Bu ya!”. Yang disuruh santai hanya cemberut, masih dengan mata sembab.
“Tuh Bu lihat, janinnya sehat. Cuma Ibu harus jaga kesehatan dan banyak istirahat!”. Anisa tak berkomentar apa-apa, mengetahui kondisi janinnya.
“Sialan!” Pekiknya pelan. Namun terlampau keras jika ia hanya menginginkan yang mendengar hanya dirinya. Dokter Razak tersentak dengan ucapan pasien muda itu.
“Sialan siapa Mbak?”. Halus ucapan itu terucap.
“Yang jelas yang sialan itu bukan dokter, atau asisten Anda!”
“Terus..?”
“Dokter ini mau tahu saja!, Sialan!”
“Lho kok..!” Dokter Razak bingung. Karena setelah pasiennya mengucapkan kata-kata terakhirnya, tangisnya langsung pecah. Asisten dokter Razak bingung dibuatnya. Kemudian berusaha menenangkan. Dokter Razak yang senantiasa tenang dalam melaksanakan tugas keprofesiannya kali ini tidak bisa tenang. Tumben sekali ini ada kasus seperti ini ia temukan. Bukan karena ia menyimpan sesuatu yang sangat besar di hati dan perasaannya, atau marah mengetahui pasiennya ternyata hamil, sudah tiga bulan pula. Tapi yang dokter hadapi adalah orang yang sepertinya sangat tidak menginginkan kehadiran janinnya. Apalagi saat ini pasien muda itu hanya sendiri, tak ada seorangpun yang mengantarnya.
Anisa sudah menggunakan segala cara untuk menggugurkan kandungan tapi tak berhasil. Justeru usia kandungannya semakin bertambah. Pagi tadi Anisa mengamati tespect uji kehamilan positif, bencana!. Bencana untuk dirinya dan yang paling menyakitkan adalah bencana bagi keluarga besarnya. 
Di tengah kebingungan seperti itu Anisa tiba-tiba berujar “Pak Dokter mau Anak ini?, nanti saya kasih gratis” tukas Anis ketus, berlalu setelah membayar administrasi dan membawa kertas resep. Dokter Razak memandangnya hingga menghilang di balik pintu.
“Kurang Ajar pasien tadi Dok!” asistennya tiba-tiba angkat bicara.
“Kurang ajar bagaimana Tri?”.
“Ya iyalah Dok, masa ada orang yang tidak bersyukur dikaruniai anak!”.
“Iya, tapi kan itu bukan urusan kita. Itu urusan Bu Anis kan?, sudahlah”
***
”Sudir! Saya hamil!” Anisa memelas
”Lho, kamu tidak jadi menggugurkannya"!"
"Perempuan celaka!”
”Aku sudah menggunakan berbagai cara, tapi...” Anisa mencoba berbohong
”Tapi, kamu kasihan sama bayimu itu? Begitu!”
”Prak! Prak!” Dua kali Sudir mendaratkan tamparanya di wajah Anisa. Tubuh Sudir bergetar hebat, melihat Anis yang berlari membuat jarak.
“Pokoknya kamu harus bertanggung jawab!” Anisa berteriak dari jauh. Sudir keluar kamar mencoba mengejar Anisa. Terlampau lambat untuk mengejar Anis yang telah berlalu bersama taxi. Sudir hanya menatap geram taxi yang menghilang di kegelapan.
Amat celaka bagi profesi Sudirman yang sedang menempuh pendidikan dokter. Sekiranya pihak kampus mengetahui, Sudir harus angkat kaki dari Fakultas Kedokteran, karena mencoreng nama Fakultas dan melanggar kode etik Fakultas.
***
Di lab, Sudir terlihat gelisah tak tentu. Seorang yang sangat dikenalnya merapat memegang pundaknya.
“Ada apa Dir! Calon dokter kok bermuram begitu!” sapaan akrab itu segera memaksanya untuk bertampang tak bermasalah. Tapi Sudir salah, Dosen Obgin yang dikenal baik sejak ia bersama-sama saat melakukan kampanye sehat ibu dan anak mewakili Universitas itu seolah menangkap risau yang ada di wajahnya.
“Begini dok…” ucapannya menggantung..
“Dokter janji akan menjaga rahasia ini…!”. Dokter Razak kini duduk merapikan jas praktiknya. Dokter sekaligus dosen, sekaligus teman baik ayahnya Sudir memasang wajah serius.
“Ada apa Dir, tidak usah sungkan cerita saja!” ajak dokter Razak ramah.
“Saya melanggar kode etik yang mengharuskan saya keluar dari Fakultas Kedokteran!” pelan ia menghembus nafas memejamkan mata.
“Kalau terlibat narkoba pasti tidak!” dokter Razak memasang wajah penuh selidik sekarang.
“Membunuh…. Pasti tidak juga!” Sudir hanya diam.
“Menghamili …?”
Belum selesai dokter Razak meneruskan ucapanya. Langsung Sudir mengamit tangan dokter Razak. Wajahnya pucat seketika. Sambil terisak ia memohon agar masalah ini tidak diceritakan ke Profesor, Dekan Fakultas. Dokter Razak beringsut menuju jendela menatap mahasiswa yang mondar mandir di halaman Fakultas.
“Sudir, Sudir, kok bisa-bisanya kamu berbuat begitu!”
"Pak Dekan pasti malu luar biasa kalau tahu anaknya….!”
“Sekali lagi saya mohon pak! Tolong!, saya juga malu” Sudir kali ini menungkupkan tangganya ke dada.
“Ok saya Bantu!”.
Langit pagi berubah cerah, ada beban yang tertumpah, ada iba yang terkuak. Dan ada janji yang terucap. Ada bungkus yang merapat menunggu dibuka. Dunia…
***
Lima bulan berlalu
“Dok, kalau dokter mau, saya ingin bayi ini dokter yang ambil!” Anisa bicara sekenanya.
Untuk kesekian kalinya ia menawarkan diri. Kali ini obrolan cair. Anisa tidak lagi berontak.
“Kamu jangan gila Nis!, syukur kamu diberikan…!” dokter Razak berhenti sejenak.
“Anak haram, begitu dok ya!” sambar Anisa tiba-tiba.
“Kamu belum berubah Nis, usia kandunganmu sudah hampir delapan bulan, saatnya kamu memutuskan untuk menjaga anakmu”.
Anisa terdiam, kali ini dia punya waktu lama karena pasien yang datang ke tempat praktik dokter Razak hanya tiga orang, termasuk Anisa.
“Iya Bu Anisa, disyukuri yang dikasih sama Tuhan!” asisten dokter Razak menyelah.
“Nis, maaf lho Nis. Kalau boleh tahu…mmm Ayah bayimu?” Berat dokter Razak menyulam Tanya.
“Namanya Sudir Dok!”
“Sudir..? Masih kuliah?”
“Dia kuliah di jurusan Obgin, jurusan yang mengantarkan Ibuku pada kegagalan sesaat setelah dia tes masuk!”
Dua palu godam menghantam dokter Razak. Kebetulan? Tidak!
“Dok, ada apa? Kok jadi melamun Dok!”
“Anisa, bisa pulang sekarang!”
“Tapi kan belum selesai periksanya!” Anisa berlaku manja
***
Peristiwa yang memenuhi lorong dunia, kadang banyak yang harus terjadi secara kebetulan. Setelah pertemuan dokter Razak dengan Anisa. Maka tahulah ia, bahwa Anisa adalah anak dari calon Mahasiswi yang memelas. Saat pengumuman hasil ujian masuk Fakultas Kedokteran jurusan Obgin, tempat dokter Razak masih menjadi asisten dokter dua puluh tahun silam.
            Kisah itu walau ingin segera dilupakan, seolah terus diputar slow motion tak akan pernah terlupa. Namun i tak kan terkuak. Hingga akhirnya Anisa datang ke ruang praktik dokter Razak dalam keadaan berdarah-darah. Akan melahirkan rupanya. Seorang mendampingi lengkap dengan pakaian praktik.
"Sudir…?"
"Iya Dok…" Sudir hanya menggigit bibir.
Segera dokter Razak mengambil tindakan, untuk melakukan operasi. Kondisi Anisa tidak memungkinkan untuk melahirkan normal. Air ketuban telah pecah beberapa waktu lalu. Keringat dingin merembesi lekuk tubuh Sudir. Anak titisan 'haram' nya akan terlahir ke bumi.
            Waktu terus berlalu. Satu jam kurang, proses bersalin kelar.  Operasi cesar. Ada yang aneh, tak ada tangis yang menyembul dari mulut mungil bayi perempuan itu. Rupanya air ketuban telah memenuhi tenggorokannya. dengan penanganan khusus, teriakan itu akhirnya memecah hening. Bersama air mata bening mengiringi kepergian pemilik rahim. Anisa telah menutup mata, beberapa menit setelah anaknya lahir. Tak sempat menatap bayi kecilnya. Sudir diam, kaku. Tak bergeming. Mengiringi kepergian ruh wanita yang belum sempat diikat ijab.
"Sudir!, cepat!, bantu perawat. Inikan anakmu!'
"Tidak…!"
"Sudir…!" dokter Razak membentak. Raut muka perawat dipenuhi tanya.
Ruangan itu bisu, sedih, perih. Dokter Razak hanya memandang wajah sudir yang pias tak berwarna.
***
            Sesal tak selalu datang di awal. Ia pasti datang di akhir. Posisi Sudirman selamat. Hanya dirinya, dokter Razak dan juga Tuhan yang tahu kisah yang akan ditutup hingga akhir hayat mereka. Anak titisan Sudirman, yang sempurna menduplikat wajah ibunya telah aman. Dalam dekapan isteri dokter Razak. Isteri yang telah merindu hadir cabang bayi di rahimnya, kini tersiram air keteduhan.
            Ucapan Anisa kepada dokter Razak agar mengasuh anaknya, benar-banar lunas. Seperti halnya Sudir yang merelakan anaknya dalam asuhan isteri dokter Razak.
            Sementara itu, ramai pelayat yang datang menitip do'a untuk Anisa yang telah terbaring di terowongan hitam, sisi gelap bumi. Ibunya yang telah kehilangan sebagian akalnya nampak layu, menatap lekat tanah makam yang masih basah. Rinai hujan jatuh ditingkahi angin lembut yang membawa aroma wewangi bunga rerumputan di sekitar tanah makam. Di bawah pohon kamboja, sepasang  lelaki terduduk diam dengan pikirannya masing-masing.

"Maafkan aku Nis…" lirih ucapan itu dalam gumam hati Sudir.

"Maafkan saya … saya kan membalas kesalahan saya dua puluh tahun silam. Aku kan menjaga cucumu. Suatu saat kau kan tahu bahwa perempuan juga boleh menjadi dokter kandungan…" kata-kata dokter Razak bercampur keluh dan sesal. Sesal yang membawanya tak kan mengecap indahnya menjadi Ayah yang mempu menitis anak pada rahim yang halal.

Epilog :
"ANISA!".
Seorang perempuan mengeja tulisan di batu nisan. Dengan stelan dokter ia datang menyambangi makam. Di dada sebelah kanannya tertulis ANISA, Sp.OG. Di sampingnya berdiri pria yang sudah beruban, menenteng tongkat.
"Ini makam Ibumu….!"

Selasa, 21 Juni 2011

Lomba Menulis Novel Republika, Ikutan Yuk!!!

Republika menyelenggarakan Lomba Novel Republika 2011. Lomba ini terbuka untuk umum dan paling lambat naskah dikirim tanggal 15 Oktober 2011. Lebih lengkap persyaratannya adalah:Tautan
  • Mengisi formulir pendaftaran ( Download di sini : http://www.republika.co.id/iklan/novel/novel.html )
  • WNI dan melampirkan fotokopi kartu identitas (KTP/KTM/Kartu Pelajar/Paspor);
  • Karya asli, bukan saduran,bukan terjemahan,bukan jiplakan(menyertakan surat bermeterai Rp6000 yang menyatakan karya yang dikirim adalah karya asli
  • Karya belum pernah dipublikasikan atau disertakan dalam lomba sejenis
  • Tema novel bebas,menghadirkan materi yang menggugah
  • Novel bernapaskan Islam rahmatan lil alamin
  • Tidak bermuatan pornografi
  • -Naskah diketik dengan format MSWord 2000, dengan jumlah halaman minimal 150 halaman, dan diketik dengan spasi 1,5 dan diprint-out di kertas berukuran A4,menggunakan font Times New Roman, ukuran 12 dan diberi nomor halaman;
  • Peserta boleh mengirim lebih dari satu karya
  • Naskah dijilid sebanyak tiga buah dan dimasukkan dalam amplop tertutup yang ditujukan kepada
Panitia Lomba Penulisan Novel Republika 2011
Jl.Warung Buncit Raya No 37. Jakarta Selatan, 12510
  • Sepuluh peserta finalis akan diminta mengirimkan naskah dalam bentuk softcopy kepada panitia;
  • Tiga naskah terbaik akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Republika;
  • Tujuh naskah finalis lainnya akan dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Republika

HADIAH
  1. Karya terbaik pertama akan memperoleh uang saku sebesar Rp.25 juta+piala (belum termasuk royalti dari penerbitan dalam bentuk buku);
  2. Terbaik kedua berhak atas hadiah uang saku sebesar Rp.20 juta + piala (belum termasuk royalti dari penerbitan dalam bentuk buku);
  3. Terbaik ketiga memperoleh uang saku Rp.15 juta + piala (belum termasuk royalti dari penerbitan dalam bentuk buku);

Karya diterima paling lambat 15 Oktober 2011 (Cap Pos)

Minggu, 19 Juni 2011

KUCING SIAL, MITOS SALAH KAPRAH

Hanya Ilustrasi,  taken from : n0t.de

KUCING SIAL!

Alimin Samawa


Seekor kucing meregang nyawa dilindas oleh sebuah truk barang. Hanya berselang beberapa menit, truk tersebut melompat masuk jurang. Sopirnya berpindah alam seketika. Cerita yang terus dikisahkan berulang oleh orang-orang di daerahku, menjadi momok yang menakutkan bagi siapa saja yang kebetulan berpapasan dengan kucing di jalan. Takut sial.
Saking takutnya terkena sial, akhirnya jika seorang menabrak seekor kucing. Wajib baginya untuk menguburkannya, dengan dibungkus baju yang dipakai sang penabrak saat menabrak. Sebuah mitos? Bisa dibilang demikian.
Aku yang sangat tidak percaya dengan hal-hal semacam  itu, karena mendengar  kemalangan yang menimpa banyak orang, menjadi khawatir juga jika harus berhadapan dengan peristiwa semacam itu. Sama lah dengan anggapan kebanyakan masyarakat, Takut Sial!
Suatu hari, aku terpaksa mengorbankan baju dinas PNS untuk membungkus seekor kucing hitam yang tergilas roda mobilku. Entah itu adalah kucing yang baru saja mati, atau memang aku yang menabraknya. Dari pada sial, mendingan ambil langkah yang benar. Segera kukubur kucing tersebut bersama pakaian dinas. Akhirnya ke kantor hanya menggunakan kaos oblong.
Atasanku memanggilku Karena dinilai tidak tertib. Kujelaskan ihwal yang telah terjadi. Plus bumbu-bumbu kisah yang menghebohkan tentang kemalangan yang menimpa banyak orang yang tidak melakukan hal yang sama sebagaimana yang kulakoni pada hewang malang itu.
"Hadi, Hadi. Mau-maunya kamu termakan  mitos yang demikian!"
"Bukannya memang kepada mahluk yang bernyawa setelah mati itu, harus dikuburkan…? Aku bertanya di tengah kebingungan.
Aku paham betul, karakter atasanku. Sangat tidak suka dengan hal-hal yang diluar rasio akal. Beliau hanya bersandar pada agama.
"Benar menurut agama, maka benarlah ia!, salah menurut agama, maka salah juga ia!, Begiti Hadi!" ucapnya.
"Iya pak, terima kasih…!" jawabku sambil berlalu ke ruang kerjaku.
"Sama-sama…!"
***
Esoknya, atasanku meminta untuk menemaninya, meninjau proyek yang tengah dikerjakan oleh sebuah kontraktor. Kebetulan beliau adalah konsultannya. Atasanku memang sangat sering mengajakku. Karena menurut cerita-cerita teman di kantor. "Paling nyambung Mamiq –panggilan kehormatan pak Haji atau bangsawan Lombok- sama kamu Di!. Kalau sama kami-kami tidak dianggap!".
"Hadi, ngomong-ngomong kamu belum berniat menikah!" pertanyaan yang langsung menohokku. Pertanyaan serupa yang menjadi sial bagiku di daerahku. Aku yang telah PNS, punya mobil punya rumah sendiri. Tapi juga masih sial begini. Belum ada yang mau menyinggahi ruang hati.
"Tapi kamu jangan bilang sial!" sambung atasanku seolah tahu jalan pikiranku.
"Jodoh, rezeki, hidup, mati, baik dan buruk datangnya dari Pencipta!"
"Iya Miq…!" aku hanya bisa menimpali dengan kata itu. Hobi atasanku memang berceramah. Ke mana-mana ceramah terus. Jika ada kesalahan yang dikerjakan oleh orang-orang di lapangan, maka ceramah menjadi jurus mautnya. Yang diceramahin hanya bisa mengatakan seperti yang sering aku ucapkan "Iya Miq..!" atau "Iya Pak..!" saking dongkolnya atasanku akan bilang "Kalian ini hanya bisa bilang iya pak, tapi kenyataannya tidak!"
"Hadi, kamu itu sudah sepantasnya menikah!"
"Iya Miq…!"
"Hei, kamu ini sama saja sama orang-orang di lapangan sana!, kalau ditanya jawabnya, Iya Miq, Iya pak!"
"Masa mau jawab tidak!"
"Iya, kamu kasih saya alasan, atau penjelasan. Begitu!"
Belum sempat kujawab pertanyaan itu. Seekor kucing melintas di depan. Dan tergilas.
"Sial…!" hampir bersamaan kami berucap. Kami saling berpandangan.
"Bagaimana Miq?" aku bertanya memecah keheningan.
Mamiq memberikan isyarat agar kucingnya dikuburkan.
"Lho, kan yang nabrak Mamiq!"
Akhirnya kucing dimasukan ke liang lahatnya. Tanpa bungkus baju, sebagaimana yang pernah kulakoni.
"Kamu takut sial?"
"Tidak Miq, kan hanya mitos!" ucapku takut-takut berani.
"Iya hanya mitos! Serahkan urusan hanya kepada yang di atas!"
Kami segera masuk ke mobil. Mamiq menghidupkan mesin. Tapi tak bisa. Berulang kali kunci kontak diputar.
"Waduh, jangan-jangan!!" Mamiq menghentikan katan-katanya.
"Hanya mitos Miq!" ucapku sedikit meledek.
Mamiq menyerahkan kunci mobil kepadaku. Kunci kontak kumasukan "Bismillahirrohmanirrohiem!" Mesin mobilpun menyala.
"Ternyata kurang Bismillah, Miq!"
Mamiq hanya tersenyum dan berucap geli "Hanya mitos!"
Hampir saja Mamiq melepas idealismenya. Tepatnya hampir lupa diri. Dan keyakinanku tentang mitos kucing, lambat laun terkikis.

Lombok, 20 Juni 2011


Sabtu, 18 Juni 2011

SMS TENGAH MALAM


SMS tengah Malam
Alimin Samawa

Senin, 19 Syawal 1431 H/ 27 Sept 2010 M.

Malam ini, terduduk sendiri ditemani oleh suara detakan jarum jam yang berputar. Mengikuti irama jangtungku, sembari mengedit sebuah naskah yang akan kukirim ke penerbit. Pekerjaan yang diam-diam kunikmati sejak beberapa bulan terakhir. Walau tulisan sendiri belum ada yang bisa dibanggakan, namun teman-teman sering menitipkan naskahnya untuk diedit.
Seperti malam ini, sebuah novel anak sedang naik edit di laptop mini milikku. Aku Naga Anak Samudera itulah judul naskah itu, ditulis oleh seorang Bapak , mantan guru Bahasa Indonesia, pernah menjadi Kepala Sekolah SMA 2 Sumbawa, dan kini sudah pensiun sejak ditugaskan sekitar empat tahun menjadi pengawas di Dikpora Kabupaten. Pak Muji Slamet Wibisono, itulah namanya.
Kupindah kursor, dari baris ke baris berikutnya. Memindai setiap kata yang mungkin salah ketik, atau ada kata-kata yang perlu kutanya apa maksudnya kepada penulis naskah. “Nah, ketemu satu!” pekikku dalam diam. “Gigir? Apa maksudnya?, aku tak segera bertanya kepada beliau apa maksudnya. Kuteruskan saja memindai baris per baris, paragrap, halaman. Hingga ketemu di halaman hampir akhir ada tulisan  : Polisi Duane!. Segera kupindahkan tangan dari keyboard laptop menuju keypad HP mini yang sudah berubah LCDnya menjadi abu keputih-putihan, setelah satu bulan yang lalu pernah direndam air oleh putri kecilku.
Aslm. Pak artinya polisi duane?
”Polisi Pelabuhan, bukan yg di Polres”  sms dari seberang.
”Wah nambah kosakata saya. Jujur br dengar. Thanks sir”
Ku kirim ulang sms tersebut dengan tambahan redaksi “… Ini lgi edit. Insy4WI besok alimin kirim ke penerbit”
“Trim. Bgm ce rita yg kedua itu?” tanyanya
“Siip Keren. Bpk, knapa tdk dr dulu nulisnya”
“Maklum..ba nyak boat (Bahasa Sumbawa, artinya kerja). Mudah2an itu  diterima, nanti nyusul cerita yang lain. Trim bantuannya, membuat sy sprti hidup lagi”
Ada rasa khawatir menelusup di dada, ada apa dengan pak Muji ”... membuat sy sprti hidup lagi” kuulang mengeja tulisan sms beliau. Segera kutulis.
 “Keep your spirit ! May god bless you. Allah sesuai dg persangkaan hambaNya.”
“Sembari menunggu respon beliau kembali kubaca tulisannya.”Nah ketemu lagi si gigir ?” gumamku pelan. Langsung kupencet tuts keypad.
“Satu lagi pak, gigir artinya?”
”Punggung ” singkat beliau menjawab. HPku bergetar lagi, pasti respon dari bahasa inggrisku yang memberikan motivasi dengan lafal bahasa Inggris yang seadanya.
”Thank for all might be it changes my life, hope so much it has meaningfull to another people. Good luck son, please keep sholat Tahaj jud for better life. See You’r”
Kuartikan semampunya. Tak terasa butiran hangat keluar merembes di pipi. Langsung ide muncul untuk menuliskan guratan kecil ini. Dengan kata kunci TAHAJJUD. Sebuah lakon yang sudah sangat jarang kulakukan. InsyaAllah aku berjanji di dalam hati, akan belajar melakoninya walau harus merangkak dan tertatih.
Terakhir kutulis kembali sms.
”Thanks. Have a nice dream. Sms alimin kalau bpk tahajjud, besok malam alimin mau puasa. Assalamu’alaikum”
Tidak lama jawabannyapun datang
“InsyaAllah, bpk setiap mlm melakukannya”.
”Subhanallah!” terpekik kuat di dalam dada. Pantas saja, betullah apa yang disampaikan Allah dalam Al Qur’an di Surat Al Muzammil ” Sungguh bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa)..”. beliau begitu bugar sepanjang yang kukenal, dari sejaka aku SMA kelas dua hingga kini, beliau tampak awet muda. Ya, Tahajjud pengisi jiwa-jiwa yang rindu kebaikan.

Naskah Pemenang Lomba Menulis Kisah Inspiratif Berhadiah Umroh 2009


Hanya Tiga Lembar untuk Masjid
Alimin

Kulitnya keriput, penuh tanda penuaan. Sisa-sisa sepuhan matahari nampak jelas tergurat di setiap jengkal kulitnya yang telanjang tak tertutup . Gerobak sampah yang hampir seusia dengannya selalu setia menemani. Bolehlah dikatakan Gerobak ini adalah isteri kedua dalam hidupnya. Kekasih pertamanya juga senantiasa membersamai, perjalanan panjangnya. Jadilah kisah asmara cinta segi tiga sepanjang usia. Amaq Muli, Inaq Muli dan sang Gerobak.
Tulisan ini tidak akan membahas Cinta segi tiga. Tetapi ingin berbagi tentang sepenggal kisah sepasang suami istri yang hampir setahun ku kenal, dengan banyak kisah yang menginspirasi.
Muhammad itulah nama yang tersemat, di balik sosok tegar dan semangat ini, meskipun usianya sudah sangat tua. Amaq Muli begitulah panggilan akrab Bapak tua yang sudah melewati 80 tahun kehidupannya. Orang-orang tak pernah menanyakan apa pasal yang menyebabkan metamorfosa nama dari Muhammad ke Amaq Muli. Muhammad adalah nama yang sudah ada sejak ia mengetahui nama itu menjadi panggilan dari orang-orang di sekitarnya. Sejak kecil sudah yatim, alamlah yang banyak menempanya. Orang-orang tangguhlah yang bersedia membimbing dan ‘sedikit’ menanggung nestapanya. Termasuk dalam urusan jodoh, yang mengantarkannya menikah dua kali. Menikah dua kali adalah pilihan hidup yang harus dijalani, kerena isteri pertamanya harus lebih dulu kembali keharibaan Pencipta. Jadilah Isteri kedua yang menjadi teman sejatinya sampai kini.
Bersama istrinya tercinta selepas sholat subuh di masjid. Amaq Muli langsung keluar rumah menenteng gerobak sampah. Menelusuri gang demi gang, jalan, dan perkampungan. Ribuan langkah telah ia tapaki untuk mempersembahkan sebuah kebaikan dan manfaat untuk banyak orang, kebersihan!. Di usianya yang menginjak kepala delapan, tak pelak banyak kisah yang harus dilewati. Pengalaman pahit yang harus direguk juga pernah mampir di kehidupannya, yang menyebabkan berkurangnya fungsi indera pendengarannya. Sehingga butuh kesabaran ekstra untuk berdialog dengan kakek yang tidak pernah ingin menjadi peminta-minta di jalanan. Sabar untuk berteriak sedikit, dan sabar untuk mencerna bahasa daerahnya bagi orang-orang yang ingin mengajaknya berbahasa Indonesia.
Tengah hari yang terik, Amaq Muli berjalan melewati jalan kota. Untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak. Saat itulah sebuah kendaraan roda empat melaju kencang dan ‘mungkin’ tak sengaja menabraknya dari belakang . Menyebabkan gerobaknya terbalik dan Amaq terpelanting keras tak sadarkan diri. Setelah tersadar, Amaq mengalami gangguan pendengaran sampai saat ini.
Hampir separuh usianya ia abdikan untuk menjadi petugas kebersihan kota. Walau anaknya sudah pernah meminta berhenti, dan istirahat di rumah mungil yang dibeli dari hasil jerih payahnya selama ini. Namun Amaq dan Inaq Muli tetap memilih untuk meneruskan pekerjaan yang menurut mereka adalah pekerjaan mulia. Karena pekerjaanya yang mulia itulah ia menjadi salah satu orang yang berjasa mempersembahkan Adipura bagi kota Mataram. Tentu dampaknya adalah citra baik bagi Bapak Wali Kota. Benar saja, penghargaan ini tidak pernah menjadi perhatian besar bagi para petugas kebersihan kota. Termasuk Amaq Muli dan istrinya. Karena hal terpenting bagi mereka berdua adalah bagaimana agar buah hati mereka bisa mengenyam pendidikan, dan tak bernasib sama seperti mereka.
Hampir semua orang se-Kelurahan Taman Sari Kecamatan Ampenan Kota Mataram, mengenal Amaq. Bukan karena penghargaan Adipura, tapi karena seringnya menyambangi  rumah-rumah penduduk. Untuk mengambil sampah yang sudah dikarung rapih oleh yang punya rumah.
Anak dari buah pernikahan Amaq dan Inaq Muli sekarang sudah jadi ‘orang’-istilahnya Amaq- walau tak menjadi pejabat tinggi, yang penting tetap bersyukur tidak korupsi. Tiga buah hatinya yaitu Rahmat, Omat dan Nuri tidak meneruskan profesi nya. Rahmat dan Omat menjadi supir pribadi pejabat, sedangkan Nuri sekarang berada di Jakarta bersama suaminya juga memperoleh pekerjaan yang layak. Itulah perubahan besar yang tetap dan akan selalu disyukuri Amaq dan Inaq Muli. Namun satu hal yang tak pernah berubah di kehidupan mereka, yaitu ketegaran menikmati pekerjaan mereka menjadi petugas pembawa gerobak. Sampai kapan? Mereka dan akupun juga tak pernah tahu. Sampai keputusan pencipta memutuskannya. Keikhlasan, ketabahan dan kerja keras telah menempa hidup keduanya. Kepada mereka orang banyak belajar bersyukur dan belajar menderma.
Suatu siang, Amaq dan Inaq dengan tampilan rapih ‘ukuran’ petugas kebersihan kota, datang menyambangi rumah mertuaku. Gerobak tuanya dibiarkan di luar pekarangan. Terseok tapi pelan Amaq bersama sang Istri tercinta memasuki pekarangan rumah. Sebuah buntalan kecil di keluarkan dari kantong celana lusuhnya. Buntalan dari tas kresek bekas, warna hitam yang sudah pudar itu diserahkan dengan hati-hati  kepada Bapak Mertuaku. “Cuma niqi klueq tbauq sumbang pak Aji!” Ucapnya lembut agak serak. Langsung pamit, melangkahkan kaki menuju tempat-tempat kantong sampah yang sudah menanti sejak pagi buta. “Terima kasih Amaq Muli” ucap Bapak. Walau mungkin ucapan itu tak terdengar oleh Inaq dan Amaq Muli.
Dengan pelan bapak membuka buntalan kecil, yang berisi tiga lembar uang seratusan ribu rupiah. Bapak yang waktu itu menjabat sebagai Bendahara pembangunan Masjid berulang kali bertasbih “Subhanallah!” . Betapa, tak disangka Amaq Muli  yang sehari-harinya harus berkotor-kotor, bercengkrama dengan bau busuk, harus hidup prihatin dan ala kadarnya juga ikut berpartisipasi untuk pembangunan Masjid yang sedang dalam tahap pemugaran. Padahal kebanyakan tetangga masjid yang lain perlu berpikir berkali-kali untuk menyumbang ke masjid dengan nominal yang sama sebagai mana yang disumbangkan Amaq Muli. Cerita ini terus saja diulang-ulang oleh Bapak mertuaku saat kami berkumpul bersama di rumah. Subhanallah!
Harapan istimewa yang dimiliki Amaq Muli dalam hidupnya adalah keinginan besarnya untuk naik haji. “Mungkin Cuma do’a yang bisa kita panjatkan agar bisa ke Mekah” ucapnya lirih saat aku menyambangi rumahnya yang mungil. “Tapi kita kan dapat pahala niatnya kan?” katanya menghibur diri. Aku hanya bisa mengangguk pelan dan mencoba menyesali jika terlanjur bertanya, yang akan di jawab “Meleq sih ite, lamun araq kepeng!”. Uang yang terkumpul dari awal menarik gerobak hanya cukup untuk mempertahankan nasib sekolah anak-anaknya, selainnya adalah untuk meneruskan kehidupan. Kehidupan yang akan terus dilaluinya dengan menarik gerobak, menelusuri gang-gang kecil, berselimutkan terik mentari dan terkadang radangnya hujan. Hingga waktulah yang akan menentukan kemudian.

Amaq : Bapak (Bahasa Sasak, Lombok)
Inaq : Ibu
Cuma niqi klueq tbauq sumbang pak Aji : Cuma ini yang bisa disumbang pak Haji
Meleq sih ite, lamun araq kepeng : Mau sih kita, kalau ada uang

Senin, 06 Juni 2011

Cerpen Pernah dimuat di Lombok Post di Kolom Rehat

Berita Kematian


“Innalillahi wa innailaihi rojiun” sayup-sayup suara khas tukang adzan, menyapa saat jamaah sholat subuh turun dari masjid.
“....Berita kematian lagi!” gumamku.
Belakangan ini hampir tiap hari ada saja yang meninggal dunia. Tetangga sebelah rumah meninggal 6 hari yang lalu, kemarin lusa anak pak kepala lingkungan meninggal karena tabrakan. Baru saja kemarin, Pak Made meninggal karena serangan DBD. Betul-betul panen malaikat maut pikirku. Astagfirullah!
Di tengah kepulan asap dan deru mesin foging, sayup-sayup terdengar suara itu. Kumandang berita kematian. Suara bising mesin foging yang sengaja didatangkan oleh pemprov ke daerah Taman Sari Ampenan, pasca kematin Pak Made tak membuat suara sayup itu hilang. Sri teman SD adikku yang satu fakultas denganku meninggal setelah terkena demam hebat. Gadis berjilbab dan peramah itu meninggal dalam kondisi sedang sholat telentang. Hampir dua pekan dia tidak masuk kuliah, Ujian semesterpun tak sempat diikutinya. Aku yang mengantar surat keterangan sakitnya ke Ketua Jurusan.
Deru suara barita kematian bersahutan dari masjid ke masjid. Sebagai komando yang sudah biasa dilakukan di tempatku tinggal, di Ampenan-Lombok.
***
Kepulan asap telah lalu. Sisa aroma menyengat masih bercokol kuat memenuhi indera penciuman. Bangkai-bangkai nyamuk bertebaran di lantai rumah.
“Rin, tidak ke kampus?”
“Katanya masih ada ujian?” tanya Ibu membuyarkan lamunanku tentang kengerian yang dihadapi oleh orang-orang mati. Bayangan itu terus menerus dirilis oleh memori di otakku. Tak biasa terjadi. Karena berita kematian itu sudah biasa kudengar. Suara pengumuman itu terus diputar, dan membuat mood hidup hilang.
“Ran!” ibu memegang pundakku.
“I Iya Bu! Ninjotan doang Ibu niki![1]”.
 “Sudah!, mandi sana nanti telat lagi! Ibu kan juga mau mandi sayang” ucap ibu berujung lembut.
 Segera handuk kuletakan di pundak dan masuk kamar mandi. “Byar!, byur!” segar sekali air menyentuh kulit, menyegarkan pikiran.
Wah Buuuuuq! [2]” teriakku agak kencang.
 “Iya Rin! Ndah usah teriak-teriak, Ibu dengar kok” Tukas ibu.
“Ya Ibu sayang, silahkan menikmati hidangan kamar Mandi” Candaku bergaya layaknya pelayan-pelayan istana yang mempersilahkan tetamu masuk.
 “Oh iya Rin, Ibu  mau ngelayat ke rumahnya Pak Mus!”.
“Iya Bu, Rina sebenarnya ingin sekali ikut, tapi ujiannya mulai jam setengah delapan” Ucapku manja.
“ Sepulang dari ujian, Rina mau mampir ke sana, Ok Bu !” Aku berlalu langsung masuk kamar dan ganti pakaian.
***
Tepat pukul 07.25 aku tiba di kampus, teman-teman terlihat serius mematut buku pelajaran. “Alhamdulillah, tadi malam sudah sempat belajar, jadi tidak harus belajar lagi” Gumamku. Ternyata teman-teman cowok mendengar.
 “Alah sombong amat bo!”
“Ember!”.
“Tet..! Tet!” Suara bel berbunyi dua kali tanda masuk kelas. Berbondong-bondong Mahasiswa kampus putih UNRAM masuk kelas. Seorang guru telah menunggu di depan pintu menatap ulah siswa semester 5 Program Studi Matematika untuk mengikuti ujian hari terakhir. Satu persatu Mahasiswa diminta untuk melepaskan tasnya di luar.
“Hanya Bolpoint, penggaris, tipe-x, dan badan yang boleh masuk kelas!” Celetuknya pedas. Wajah sangar dan judes sudah menjadi tampang standar dosen Matematika yang masih betah melajang ini.
Kertas ujian dibagikan. Ujian Analisa Abstrak, Bu Heny Praningtyas, M.Si itulah nama dosen yang mendampingi kami ujian, dosen tingting kelamaan lakunya. Dosen itu kalau dipanggil tak diembeli gelar tidak bakalan menyahut atau sekedar menoleh. Maka kami biasa memanggilnya singkat Bu Hemsi, dia senangnya bukan kepalang dengan panggilan itu,
“Panggilan sayang dan roman..tic! -meniru gaya centil Putri Tropika- ucapnya centil. Saat ditanya kenapa suka dengan panggilan Hemsi.
Ujian baru berlangsung 20 menit. Suasana kelas berubah gaduh, membuat jantungku copot dan kaki serasa tak berpijak di bumi. Seorang teman cowok di kelas jatuh pingsan.
“Eh Mati!” ucapku latah, walau hati kagetnya setengah mati. Teman-teman sengaja ribut, sembari barter jawaban.
“Thanks Ron!” celetuk teman-teman pelan. Gara-gara Roni kondisi ini menjadi begitu berarti bagi teman-teman yang mentok jawaban. Kesempatan dalam kesempitan. Tapi bukanlah hal yang berarti bagi psikologiku. Kata MATI adalah yang terngiang terus. Roni digotong ke lantai bawah, kulihat wajahnya pias tak bertema.
“Rani!” panggilnya. “Eh mati, eh Roni!” latahku tiba-tiba kumat.
“Duh Rani ...! kawatir banget sama Roni..” Ledek teman-teman.
Bu Hemsi tiba-tiba sudah kembali bersama Roni.
“Sudah, sudah!,  kembali ke tempat duduk masing-masing!.
Terus-terang kondisi hatiku tak menentu, bukan karena diledekin teman kelas atau karena ucapan sang Hemsi. Tapi kata itu : kematian, serasa begitu dekat dengan hidupku. Apalagi tadi si Roni, dalam kondisi pingsan kok bisa-bisanya memanggil namaku, Aku semakin takut. Keringat dingin merembesi jilbab putihku. Kaki serasa tak bisa digerakkan, sunyi menggelayut dan dunia serasa gelap.
***
“Rin! Rani! Bangun Nak! Panggil seseorang pelan. Samar kulihat wajah ibu, meneteskan air mata. Kerudung hitamnya masih menempel di kepalanya. Tidak sempat pulang ke rumah dari ngelayat ke rumah Pak Mus.
“Rani Bangun sayang!” ucapnya dengan nada sedih.
Pandangan kuedarkan ke sekitar, yang kulihat wajah-wajah sedih dan tembok putih melingkupi, ternyata Rumah sakit. Sejumlah selang sebagai belalai ada di lengan dan di kepala. Kucoba bangkit, beberapa lengan mencegahku. Kepala pening, dan dingin terasa menjalar di kaki dan tengkuk. Bapak mendekat, matanya berkaca.
“Pak!, Bapak tidak usah menangis, Rani baik-baik saja!”.
Beliau mengangguk pelan, sembari dibelainya rambutku lembut.
Kini giliran beberapa teman mendekat.
“Rin! Rani istirahat dulu, mungkin terlalu capek!”
“Ting!” Capek, ya capek pikirku.
Aku terlalu capek dan memporsir belajar untuk persiapan UAS (Ujian Akhir Semester). Kemarin, saat minggu tenang, hampir jarang melihat dunia luar. Aku sangat takut, tidak bisa mempertahankan IPK  tiga koma ke atas. Ditambah lagi sepekan terakhir, dengan pikiran-pikiran tentang kematian. Malaikat maut, dosa menggelayuti pikiran. “Astagfirullahaladziem, sepekan lebih hampir tidak pernah terapalkan bacaan qur’an. Aku hanya sibuk dengan rumus, rumus dan rumus. Ya Allah, inilah yang kudapat, aku telah lupa, aku...”. Aku merutuk sendiri.
***
Hampir dua hari aku di rawat. Sesosok berpakaian putih berwajah lembut memasuki ruangan tempat aku terbaring, ditemani dua orang yang juga berpakaian sama dengan sosok tadi. “Dok, bagaimana anak saya dok?” Ibu bertanya dengan nada khawatir.
“Rani, baik-baik saja bu!” Aku yang menjawab.
“Iya Bu, Mbak Rani boleh kok di bawa pulang hari ini!” ucap dokter yang kuketahui bernama dr Ute, dari papan namanya.
Ada senyum yang memancar di wajah kedua orang tuaku. Teman-teman juga senangnya bukan main, demi diketahui bahwa aku tidak apa-apa. Hanya capek!.
Menggunakan mobil tua milik Bapak, aku dibawa pulang ke rumah. Sesampai di depan rumah, suara itu bergema. Itu bukan suara adzan, tapi suara berita kematian. Sekali lagi, tetangga dekat kami yang tak lain adalah sahabat Bapak sejak sekolah meninggal dunia. “Innalillahiwainnailaihi rojiun!, Bapak terlihat sedih.
“Padahal tadi pagi Pak Inggang samaan dengan Bapak sholat jenazah anaknya Pak Mus!”   pelan Bapak berucap, disertai matanya yang masih berkaca. Entah karena saya masuk rumah sakit atau memang beliau sedih karena kepergian sahabatnya. Aku mengeja peristiwa itu : KEMATIAN!.
“Ya Allah akankah, semakin dekat waktuku?” Tanyaku pelan di lubuk hati.
Aku menangis pelan, Ibu yang dari tadi hanya mematung merangkulku.
“Sudahlah Rin, kematian akan datang kapanpun!” tukas ibu mengingatkan.
“Kan Rani yang sering nyeramahin Ibu! Bahwa kematian itu bisa datang kapan saja! Nggeh[3]?” Aku mengangguk. Degup kencang menyelimuti hatiku, seolah baru pertama kali kata-kata itu kudengar. Padahal seperti kata Mama, kalimat itu sering kuperdengarkan saat Mama lupa dan terlalu asyik dengan urusan dunia.
Mama melepaskan pelukannya, dan meminta Aku istirahat di kamar. Kurebahkan tubuhku ringan. Mushaf Al Qur’an, yang sempat menjadi asing selama sepekan kuambil, dan kuletakan kembali. Sambil bangkit untuk mengambil air wudhu. Tubuhku bergetar saat putaran keran mengucurkan air putih bening menyentuh kedua tanganku, Dingin dan menyejukan. Pelan kurapalkan ayat-ayat Allah, tak peduli dengan kesibukan kedua orang tuaku. Mungkin mereka pergi ke rumah Almarhum atau menyiapkan bekal untuk melayat. Aku telah lena dalam rapalan bacaan qur’anku, mencoba mereguk kerinduan dan menghapus kegalauan di hati.
***
Malam tiba. Bayangan tentang kematian kembali dirilis. Kubuka laptop, memutar ceramah Ustadz Annis Matta, Lc. Pilihan tema ceramanya hanya dua. Pertama, tentang Keluarga Sakinah, yang kedua, tentang Menikmati kehidupan. Tentu yang kupilih tentang Menikmati Kehidupan, kalau masalah Keluarga Sakinah sudah sering kudengar.
Ada ungkapan yang begitu menggetarkan di hati, yaitu tentang cita-cita kita sesungguhnya dalam hidup. Bagaimana sebenarnya keinginan kita dalam mempersiapkan hidup. Apa tanggapan kita tentang diri kita, apa sebenarnya yang sudah dilakukan untuk hidup ini, untuk memberikan inspirasikah atau hanya menjadi penyakit bagi orang lain. Beliau meminta kita untuk membayangkan ketika kita telah berada di peti mati. Lalu setiap kerabat, sahabat, teman dekat diminta untuk menyampaikan sambutan. Lalu dengarkan apa yang akan mereka katakan. Sekiranya mereka memberikan apresiasi baik atas jenak hidup kita artinya kita telah bercita-cita menjadi baik, dan sebaliknya.
Aku termenung sendiri, masih dengan mukenah yang kupakai sholat maghrib dan isya.
Kudengar ramai, riuh rendah orang menangis di ruang tamu. Paling jelas terdengar adalah suara Bapak dan Ibu. Betapa dekatnya pak Inggang dengan keluarga kami, wajar orang tuaku begitu merasa kehilangan. Pak Inggang adalah tetangga yang baik, suka membantu. Aku diperlakukannya seperti anaknya sendiri. Pelan kubuka pintu kamar. Ruang tamu penuh sesak dengan orang-orang, “Mungkin orang yang datang melayat ke Pak Inggang terlalu banyak, harus dialihkan ke rumah kami!” pikirku.  Aku melangkah, mendekati Ibu. Ada yang aneh. “Mayat Pak Inggang dibawa ke rumah?”. Kusentuh punggung Ibu “Bu, kok jenazah Pak Inggang dibawa ke rumah!”. Tangis ibu semakin menjadi-jadi.
“Bu, Ibu!” Aku memukul-mukul pundak Ibu, namun tak jua membuatnya menoleh. “Ada yang aneh!” pikirku. Tangganku seolah tak menjangkau pundak Ibu, ringan, tak berbentuk. Kudekati ayah, namun dia juga sama cueknya. Wajah-wajah tetangga tak ada yang peduli denganku, khusyuk melihat onggokan mayat yang ditutup kain putih, yang diletakan persis di tengah ruang tamu .
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun!” bagaikan petir menyambar suara itu  menggema memenuhi kolong langit. “Telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang ananda NuRani Fajriyanti...!”
Kagetnya bukan kepalang, kali ini dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena suara itu, tapi karena nama yang disebut oleh tukang adzan itu adalah namaku, ya namaku. kulihat teman-teman kuliahku datang, berurai air mata. Bu Hemsi juga ada di tengah mereka.
“Aku?.....tidaaaaaaaaaaaaaaaak!”
“Ran!, Rani Sayang kembe[4] Nak!” Seseorang memegang pundakku.
“Ibu, maaf kan Rani, maaf bu!” aku terisak sejadi-jadinya.
“Mimpi buruk ya?” Aku hanya mengangguk pelan, sembari kueratkan pelukan membenamkan wajah di dada Ibu.
“Kematian itu pasti datang!” Jangan lupakan berita yang pernah Rani ucapkan berkali-kali ke Ibu.
Untuk Pak Inggang, semoga tenang jiwamu di alam sana...
Ampenan April 2010


[1] Ngagetin aja ibu ini (Bahasa Sasak/Lombok)
[2] Sudah Bu!
[3] Iya Kan?
[4] Kenapa

Minggu, 05 Juni 2011

KISAH NYATA


 Mengeja Takdir

Tanggal 15 Juli 2010 usai sholat magrib aku berangkat bersama isteri ke tempat praktiknya dr Rusdi. Dokter kandungan yang telah kusambangi beberapa kali ini.
"Antrian nomor sembilan!" demikian kata Resepsionis ramah, sudah empat orang yang telah diperiksa kandungannya. Aku dan Isteri menunggu seperti pasien yang lain. Sejak periksa tiga pekan yang lalu, kandungan Isteriku bukannya semakin membesar, namun seolah mengecil. Tak ada denyutan, tak ada pergerakan.
”Kak Adek takut!” Nada khawatir terucap.
“InsyaAllah tidak apa-apa!” Jawabku mantap, walau menyimpan sebuah kekhawatiran.
“Bu Siti Rahma!” Panggil asisten dr Rusdi.
”Ya Mbak!” pelan kudengar isteriku menjawab. Karena aku sempat pindah tempat duduk ke deretan belakang tempat duduk isteri yang sedang bicara dengan seorang pasien lain.
Malam ini ada pertemuan rutin, talaqi bersama teman-teman, maka aku pindah tempat untuk memperlancar hafalan Qur’an. Baru sekali baca ayat-ayat yang akan kusetor, kulihat Isteri sedang ditensi.
”Ayo Bu!” ajak asisten dokter kandungan itu.
 Segera kuikuti langkah isteriku, masuk ke ruang periksa. Ruang tempat memonitor kondisi janin lengkap dengan alat USG.
”Beratnya gak naik Dok!” ucap asisten yang membuat hati gusar.
"Jangan-jangan janinnya tidak berkembang dok?” Tukasku.
“Bisa jadi!” balas dokter lembut. Isteriku hanya diam, mungkin sedang merenung.
“Silahkan Bu!”. Isteriku diperiksa dengan pemindai perut, yang terbaca melalui layar monitor hitam putih.
“Wah, janinya tidak beraturan, tak bergerak!”.
Hatiku cemas, apalagi isteriku. Tergurat jelas rasa cemas di wajahnya.
“Janinnya sudah meniggal di dalam!” Tiab-tiba dokter memberikan jawaban atas segala kecemasan. Memang kulihat tak ada pergerakan di layar hitam putih itu. Rasa khawatir dan kaget menjadi satu, seiring ungkapan dr Rusdi yang terakhir.
“Gimana dong Dok?” Isteriku angkat bicara, kulihat air mukanya telah berubah. Aku menatapnya iba.
 “Sabar ya Dek!” bisikku pelan. Dibalas dengan anggukan kecil. Aku tahu isteriku sedang menangis lirih perih di dalam hatinya. Aku juga tahu, dia adalah sosok isteri yang sangat tegar dan tangguh. Terbukti ketegaran dan sabarnya mendampingiku, dan selalu melengkapi segala kekuranganku.
“Harus di kasih obat perangsang, semoga bisa langsung keluar janinnya!” sergah pak doker kembali.
“Nah kalau tidak bisa, baru dicuret
Membayangkan dicuret sebagaimana sering teman-teman isteri bercerita, isteriku hampir muntah.
“Terima kasih Dok!” hampir bersamaan aku dan isteriku berucap.
“Sama-sama..! balas sang Dokter yang berencana akan membantu mengeluarkan ‘mayat’ janin kami esok hari.
Keluar dari ruangan itu, hampir saja memecahkan kesedihan. Langsung melunasi administrasi.
***
Selama perjalanan pulang di atas kendaraan aku hanya terdiam, membisu tak kuasa berkata-kata, diam dan menangis. Tak kubiarkan isteriku melihat air mataku. Dia pasti sudah tahu aku sedang menangis dari isak liri yang tak sanggup kutahan.
Pelan kendaraan kupacu.
 ”Sampai di rumah kita langsung Shalat Isya sayang ya!” kemungkinan isteriku hanya mengangguk lemah.
”Setelah itu baru kita kasih tahu Ibu, biar lebih tenang!” tambahku lagi di tengah deru kendaraan yang saling mendahului. Mungkin sudah puluhan motor yang mendahuli laju matic  yang berjalan pelan melintas malam.
Tiba di rumah mertua, aku langsung wudhu dalam tangis yang bercampur dinginnya air yang membasuh wajahku. Kami sholat isya berjamaah. Sesaat setelah sholat, lirih isteriku menangis. Kukuat-kuatkan diri agar ada yang bisa menghibur.
”Sabar sayang!”.
***
Pukul 03.32, aku terbangun karena tangis putriku yang pertama. Sebentar anakku langsung tidur lagi. Aku langsung sholat dua rokaat. Kulanjutkan dengan membaca Qur’an, Pelan kubuka Al Qur’an terjemah itu, acak. Mataku langsung terbelalak karena tertuju pada Surat Al Mu’min ayat 67 dan 68. Pelan rapal terjemahannya.
Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah. Kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami berbuat demikian) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang tentukan. Agar kamu mengerti” (67) Subhanallah, aku memekik lirih. Kulihat isteri dan anak pertamaku masih tertidur pulas. Kulanjutkan ke ayat berikutnya ”Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Maka apabila Dia hendak menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya Kun fa Yakun (Jadi maka jadilah).
Mataku berembun, menerawang sejenak memandangi langit-langit kamar. Bukan untuk mencari jawaban, tapi merenungi kebesaran Pencipta. Aku dikejutkan dengan rengekan manja putriku yang minta minum, langsung tidur lagi.
”Ya Allah sekiranya dengan ini Engkau hendak mengganti dengan yang lebih baik. Maka, terjadilah!” Aku yakin semua, SEGALANYA sudah dituliskan dalam Buku kehidupanku, juga buku kehidupan isteriku. Tentang jodoh, rezeki, ajal, kesudahan baik atau buruk.
***
Tanggal 16 Juli 2010, pukul 09.34 aku dan isteri sudah berada di Rumah Sakit Angkatan Darat, ini adalah kali kedua kami menyambangi rumah sakit ini. Di sinilah tempat putri pertamaku menghirup udara pertamakalinya. Seperti biasa, mengurus administrasi dan urusan kamar. HESTI 3 itulah ruangan yang kupilih, karena lumayan dekat dengan ruang bersalin. Satu lembar kertas resep diberikan dokter langsung kutebus. Katanya dokter, Obat perangsang kontraksi. Segera obat dalam bentuk tablet  itu dibenamkan di bawah rahim isteriku. ”Nanti akan dimasukan lagi setelah enam jam!” ungkap dokter mantap dan tegas, maklum kata orang Rumah Sakit Tentara. Walau terkesan tegas tapi tetap bertanggung jawab, itulah kesan yang kutangkap dari pelayanan bidan dan perawat di sana.
Tepat pukul 11.42 isteriku sudah mulai merasa kontraksi, selang beberapa menit langsung dipindahkan ke ruang bersalin. Di ruang bersalin aku harus menunggu lama sekali hingga kontraksi susulan terjadi begitu cepat dan berjarak dekat. ”Ada sesuatu yang keluar kak!” ujar isteriku. Cepat bidan kupanggil. ”Sudah bukaan delapan!” bisik bidan, ”tunggu bukaan lengkap!” Sambung bidan mantap. Seolah waktu lama sekali berputar. Sudah hampir jam sembilan malam, janinnya belum keluar juga. Padahal tablet stimulus kontraksi sudah diberikan untuk kali kedua. ”Kita banyak zikir dek!”.
Jam 11.00 kontraksi beberapa kali terjadi. Saat itu sudah pergantian shift jaga bidan. Aku ketemu kembali dengan bidan yang dulu menanggani persalinan anak pertamaku. ”Ayo bu, rileks. Keluarkan!” beberapa kali kata-kata itu merambat di ruang bersalin. Dengan tiga kali tarikan nafas, akhirnya keluarlah the number one bayi kecil yang masih terbungkus ari-ari satu paket bersama air ketuban. Dulu, saat kelahiran pertama aku langsung melihat anakku. Untuk kali ini ada kekhawatiran dan ketakutan untuk hanya memandangnya. Perhatianku hanya pada isteri dan persiapan pasca persalinannya. Akhinya kuminta adik ipar untuk ke Rumah Sakit, kuserahkan dua buntalan kresek hitam dan putih. Kresek hitam berisi kain bekas ceceran darah, kresek putih berisi janin yang baru keluar itu. ”Dek minta bapak sholatkan anak saya! Dan dibersihkan” pintaku kepada adik ipar, hampir saja air mataku berderai jatuh. ”Iya Mas”, ucapnya berlalu membawa buntalan dua tas kresek. Aku hanya memandang dari jauh, hingga bayangan adik iparku hilang dipintu  Rumah Sakit. Betapa terpukulnya, sedih  jadi satu.
Maka apapun keputusan Allah terhadap diri dan keluarga ku saat ini dan selanjutnya, adalah bukti bahwa Allah masih sayang dan mencintai. Sembari kueja takdir yang diberikan, jua menekur segala khilaf dan salah.
Mataram Sya’ban 1431 H