Minggu, 05 Juni 2011

KISAH NYATA


 Mengeja Takdir

Tanggal 15 Juli 2010 usai sholat magrib aku berangkat bersama isteri ke tempat praktiknya dr Rusdi. Dokter kandungan yang telah kusambangi beberapa kali ini.
"Antrian nomor sembilan!" demikian kata Resepsionis ramah, sudah empat orang yang telah diperiksa kandungannya. Aku dan Isteri menunggu seperti pasien yang lain. Sejak periksa tiga pekan yang lalu, kandungan Isteriku bukannya semakin membesar, namun seolah mengecil. Tak ada denyutan, tak ada pergerakan.
”Kak Adek takut!” Nada khawatir terucap.
“InsyaAllah tidak apa-apa!” Jawabku mantap, walau menyimpan sebuah kekhawatiran.
“Bu Siti Rahma!” Panggil asisten dr Rusdi.
”Ya Mbak!” pelan kudengar isteriku menjawab. Karena aku sempat pindah tempat duduk ke deretan belakang tempat duduk isteri yang sedang bicara dengan seorang pasien lain.
Malam ini ada pertemuan rutin, talaqi bersama teman-teman, maka aku pindah tempat untuk memperlancar hafalan Qur’an. Baru sekali baca ayat-ayat yang akan kusetor, kulihat Isteri sedang ditensi.
”Ayo Bu!” ajak asisten dokter kandungan itu.
 Segera kuikuti langkah isteriku, masuk ke ruang periksa. Ruang tempat memonitor kondisi janin lengkap dengan alat USG.
”Beratnya gak naik Dok!” ucap asisten yang membuat hati gusar.
"Jangan-jangan janinnya tidak berkembang dok?” Tukasku.
“Bisa jadi!” balas dokter lembut. Isteriku hanya diam, mungkin sedang merenung.
“Silahkan Bu!”. Isteriku diperiksa dengan pemindai perut, yang terbaca melalui layar monitor hitam putih.
“Wah, janinya tidak beraturan, tak bergerak!”.
Hatiku cemas, apalagi isteriku. Tergurat jelas rasa cemas di wajahnya.
“Janinnya sudah meniggal di dalam!” Tiab-tiba dokter memberikan jawaban atas segala kecemasan. Memang kulihat tak ada pergerakan di layar hitam putih itu. Rasa khawatir dan kaget menjadi satu, seiring ungkapan dr Rusdi yang terakhir.
“Gimana dong Dok?” Isteriku angkat bicara, kulihat air mukanya telah berubah. Aku menatapnya iba.
 “Sabar ya Dek!” bisikku pelan. Dibalas dengan anggukan kecil. Aku tahu isteriku sedang menangis lirih perih di dalam hatinya. Aku juga tahu, dia adalah sosok isteri yang sangat tegar dan tangguh. Terbukti ketegaran dan sabarnya mendampingiku, dan selalu melengkapi segala kekuranganku.
“Harus di kasih obat perangsang, semoga bisa langsung keluar janinnya!” sergah pak doker kembali.
“Nah kalau tidak bisa, baru dicuret
Membayangkan dicuret sebagaimana sering teman-teman isteri bercerita, isteriku hampir muntah.
“Terima kasih Dok!” hampir bersamaan aku dan isteriku berucap.
“Sama-sama..! balas sang Dokter yang berencana akan membantu mengeluarkan ‘mayat’ janin kami esok hari.
Keluar dari ruangan itu, hampir saja memecahkan kesedihan. Langsung melunasi administrasi.
***
Selama perjalanan pulang di atas kendaraan aku hanya terdiam, membisu tak kuasa berkata-kata, diam dan menangis. Tak kubiarkan isteriku melihat air mataku. Dia pasti sudah tahu aku sedang menangis dari isak liri yang tak sanggup kutahan.
Pelan kendaraan kupacu.
 ”Sampai di rumah kita langsung Shalat Isya sayang ya!” kemungkinan isteriku hanya mengangguk lemah.
”Setelah itu baru kita kasih tahu Ibu, biar lebih tenang!” tambahku lagi di tengah deru kendaraan yang saling mendahului. Mungkin sudah puluhan motor yang mendahuli laju matic  yang berjalan pelan melintas malam.
Tiba di rumah mertua, aku langsung wudhu dalam tangis yang bercampur dinginnya air yang membasuh wajahku. Kami sholat isya berjamaah. Sesaat setelah sholat, lirih isteriku menangis. Kukuat-kuatkan diri agar ada yang bisa menghibur.
”Sabar sayang!”.
***
Pukul 03.32, aku terbangun karena tangis putriku yang pertama. Sebentar anakku langsung tidur lagi. Aku langsung sholat dua rokaat. Kulanjutkan dengan membaca Qur’an, Pelan kubuka Al Qur’an terjemah itu, acak. Mataku langsung terbelalak karena tertuju pada Surat Al Mu’min ayat 67 dan 68. Pelan rapal terjemahannya.
Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah. Kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami berbuat demikian) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang tentukan. Agar kamu mengerti” (67) Subhanallah, aku memekik lirih. Kulihat isteri dan anak pertamaku masih tertidur pulas. Kulanjutkan ke ayat berikutnya ”Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Maka apabila Dia hendak menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya Kun fa Yakun (Jadi maka jadilah).
Mataku berembun, menerawang sejenak memandangi langit-langit kamar. Bukan untuk mencari jawaban, tapi merenungi kebesaran Pencipta. Aku dikejutkan dengan rengekan manja putriku yang minta minum, langsung tidur lagi.
”Ya Allah sekiranya dengan ini Engkau hendak mengganti dengan yang lebih baik. Maka, terjadilah!” Aku yakin semua, SEGALANYA sudah dituliskan dalam Buku kehidupanku, juga buku kehidupan isteriku. Tentang jodoh, rezeki, ajal, kesudahan baik atau buruk.
***
Tanggal 16 Juli 2010, pukul 09.34 aku dan isteri sudah berada di Rumah Sakit Angkatan Darat, ini adalah kali kedua kami menyambangi rumah sakit ini. Di sinilah tempat putri pertamaku menghirup udara pertamakalinya. Seperti biasa, mengurus administrasi dan urusan kamar. HESTI 3 itulah ruangan yang kupilih, karena lumayan dekat dengan ruang bersalin. Satu lembar kertas resep diberikan dokter langsung kutebus. Katanya dokter, Obat perangsang kontraksi. Segera obat dalam bentuk tablet  itu dibenamkan di bawah rahim isteriku. ”Nanti akan dimasukan lagi setelah enam jam!” ungkap dokter mantap dan tegas, maklum kata orang Rumah Sakit Tentara. Walau terkesan tegas tapi tetap bertanggung jawab, itulah kesan yang kutangkap dari pelayanan bidan dan perawat di sana.
Tepat pukul 11.42 isteriku sudah mulai merasa kontraksi, selang beberapa menit langsung dipindahkan ke ruang bersalin. Di ruang bersalin aku harus menunggu lama sekali hingga kontraksi susulan terjadi begitu cepat dan berjarak dekat. ”Ada sesuatu yang keluar kak!” ujar isteriku. Cepat bidan kupanggil. ”Sudah bukaan delapan!” bisik bidan, ”tunggu bukaan lengkap!” Sambung bidan mantap. Seolah waktu lama sekali berputar. Sudah hampir jam sembilan malam, janinnya belum keluar juga. Padahal tablet stimulus kontraksi sudah diberikan untuk kali kedua. ”Kita banyak zikir dek!”.
Jam 11.00 kontraksi beberapa kali terjadi. Saat itu sudah pergantian shift jaga bidan. Aku ketemu kembali dengan bidan yang dulu menanggani persalinan anak pertamaku. ”Ayo bu, rileks. Keluarkan!” beberapa kali kata-kata itu merambat di ruang bersalin. Dengan tiga kali tarikan nafas, akhirnya keluarlah the number one bayi kecil yang masih terbungkus ari-ari satu paket bersama air ketuban. Dulu, saat kelahiran pertama aku langsung melihat anakku. Untuk kali ini ada kekhawatiran dan ketakutan untuk hanya memandangnya. Perhatianku hanya pada isteri dan persiapan pasca persalinannya. Akhinya kuminta adik ipar untuk ke Rumah Sakit, kuserahkan dua buntalan kresek hitam dan putih. Kresek hitam berisi kain bekas ceceran darah, kresek putih berisi janin yang baru keluar itu. ”Dek minta bapak sholatkan anak saya! Dan dibersihkan” pintaku kepada adik ipar, hampir saja air mataku berderai jatuh. ”Iya Mas”, ucapnya berlalu membawa buntalan dua tas kresek. Aku hanya memandang dari jauh, hingga bayangan adik iparku hilang dipintu  Rumah Sakit. Betapa terpukulnya, sedih  jadi satu.
Maka apapun keputusan Allah terhadap diri dan keluarga ku saat ini dan selanjutnya, adalah bukti bahwa Allah masih sayang dan mencintai. Sembari kueja takdir yang diberikan, jua menekur segala khilaf dan salah.
Mataram Sya’ban 1431 H

1 komentar: