Senin, 06 Juni 2011

Cerpen Pernah dimuat di Lombok Post di Kolom Rehat

Berita Kematian


“Innalillahi wa innailaihi rojiun” sayup-sayup suara khas tukang adzan, menyapa saat jamaah sholat subuh turun dari masjid.
“....Berita kematian lagi!” gumamku.
Belakangan ini hampir tiap hari ada saja yang meninggal dunia. Tetangga sebelah rumah meninggal 6 hari yang lalu, kemarin lusa anak pak kepala lingkungan meninggal karena tabrakan. Baru saja kemarin, Pak Made meninggal karena serangan DBD. Betul-betul panen malaikat maut pikirku. Astagfirullah!
Di tengah kepulan asap dan deru mesin foging, sayup-sayup terdengar suara itu. Kumandang berita kematian. Suara bising mesin foging yang sengaja didatangkan oleh pemprov ke daerah Taman Sari Ampenan, pasca kematin Pak Made tak membuat suara sayup itu hilang. Sri teman SD adikku yang satu fakultas denganku meninggal setelah terkena demam hebat. Gadis berjilbab dan peramah itu meninggal dalam kondisi sedang sholat telentang. Hampir dua pekan dia tidak masuk kuliah, Ujian semesterpun tak sempat diikutinya. Aku yang mengantar surat keterangan sakitnya ke Ketua Jurusan.
Deru suara barita kematian bersahutan dari masjid ke masjid. Sebagai komando yang sudah biasa dilakukan di tempatku tinggal, di Ampenan-Lombok.
***
Kepulan asap telah lalu. Sisa aroma menyengat masih bercokol kuat memenuhi indera penciuman. Bangkai-bangkai nyamuk bertebaran di lantai rumah.
“Rin, tidak ke kampus?”
“Katanya masih ada ujian?” tanya Ibu membuyarkan lamunanku tentang kengerian yang dihadapi oleh orang-orang mati. Bayangan itu terus menerus dirilis oleh memori di otakku. Tak biasa terjadi. Karena berita kematian itu sudah biasa kudengar. Suara pengumuman itu terus diputar, dan membuat mood hidup hilang.
“Ran!” ibu memegang pundakku.
“I Iya Bu! Ninjotan doang Ibu niki![1]”.
 “Sudah!, mandi sana nanti telat lagi! Ibu kan juga mau mandi sayang” ucap ibu berujung lembut.
 Segera handuk kuletakan di pundak dan masuk kamar mandi. “Byar!, byur!” segar sekali air menyentuh kulit, menyegarkan pikiran.
Wah Buuuuuq! [2]” teriakku agak kencang.
 “Iya Rin! Ndah usah teriak-teriak, Ibu dengar kok” Tukas ibu.
“Ya Ibu sayang, silahkan menikmati hidangan kamar Mandi” Candaku bergaya layaknya pelayan-pelayan istana yang mempersilahkan tetamu masuk.
 “Oh iya Rin, Ibu  mau ngelayat ke rumahnya Pak Mus!”.
“Iya Bu, Rina sebenarnya ingin sekali ikut, tapi ujiannya mulai jam setengah delapan” Ucapku manja.
“ Sepulang dari ujian, Rina mau mampir ke sana, Ok Bu !” Aku berlalu langsung masuk kamar dan ganti pakaian.
***
Tepat pukul 07.25 aku tiba di kampus, teman-teman terlihat serius mematut buku pelajaran. “Alhamdulillah, tadi malam sudah sempat belajar, jadi tidak harus belajar lagi” Gumamku. Ternyata teman-teman cowok mendengar.
 “Alah sombong amat bo!”
“Ember!”.
“Tet..! Tet!” Suara bel berbunyi dua kali tanda masuk kelas. Berbondong-bondong Mahasiswa kampus putih UNRAM masuk kelas. Seorang guru telah menunggu di depan pintu menatap ulah siswa semester 5 Program Studi Matematika untuk mengikuti ujian hari terakhir. Satu persatu Mahasiswa diminta untuk melepaskan tasnya di luar.
“Hanya Bolpoint, penggaris, tipe-x, dan badan yang boleh masuk kelas!” Celetuknya pedas. Wajah sangar dan judes sudah menjadi tampang standar dosen Matematika yang masih betah melajang ini.
Kertas ujian dibagikan. Ujian Analisa Abstrak, Bu Heny Praningtyas, M.Si itulah nama dosen yang mendampingi kami ujian, dosen tingting kelamaan lakunya. Dosen itu kalau dipanggil tak diembeli gelar tidak bakalan menyahut atau sekedar menoleh. Maka kami biasa memanggilnya singkat Bu Hemsi, dia senangnya bukan kepalang dengan panggilan itu,
“Panggilan sayang dan roman..tic! -meniru gaya centil Putri Tropika- ucapnya centil. Saat ditanya kenapa suka dengan panggilan Hemsi.
Ujian baru berlangsung 20 menit. Suasana kelas berubah gaduh, membuat jantungku copot dan kaki serasa tak berpijak di bumi. Seorang teman cowok di kelas jatuh pingsan.
“Eh Mati!” ucapku latah, walau hati kagetnya setengah mati. Teman-teman sengaja ribut, sembari barter jawaban.
“Thanks Ron!” celetuk teman-teman pelan. Gara-gara Roni kondisi ini menjadi begitu berarti bagi teman-teman yang mentok jawaban. Kesempatan dalam kesempitan. Tapi bukanlah hal yang berarti bagi psikologiku. Kata MATI adalah yang terngiang terus. Roni digotong ke lantai bawah, kulihat wajahnya pias tak bertema.
“Rani!” panggilnya. “Eh mati, eh Roni!” latahku tiba-tiba kumat.
“Duh Rani ...! kawatir banget sama Roni..” Ledek teman-teman.
Bu Hemsi tiba-tiba sudah kembali bersama Roni.
“Sudah, sudah!,  kembali ke tempat duduk masing-masing!.
Terus-terang kondisi hatiku tak menentu, bukan karena diledekin teman kelas atau karena ucapan sang Hemsi. Tapi kata itu : kematian, serasa begitu dekat dengan hidupku. Apalagi tadi si Roni, dalam kondisi pingsan kok bisa-bisanya memanggil namaku, Aku semakin takut. Keringat dingin merembesi jilbab putihku. Kaki serasa tak bisa digerakkan, sunyi menggelayut dan dunia serasa gelap.
***
“Rin! Rani! Bangun Nak! Panggil seseorang pelan. Samar kulihat wajah ibu, meneteskan air mata. Kerudung hitamnya masih menempel di kepalanya. Tidak sempat pulang ke rumah dari ngelayat ke rumah Pak Mus.
“Rani Bangun sayang!” ucapnya dengan nada sedih.
Pandangan kuedarkan ke sekitar, yang kulihat wajah-wajah sedih dan tembok putih melingkupi, ternyata Rumah sakit. Sejumlah selang sebagai belalai ada di lengan dan di kepala. Kucoba bangkit, beberapa lengan mencegahku. Kepala pening, dan dingin terasa menjalar di kaki dan tengkuk. Bapak mendekat, matanya berkaca.
“Pak!, Bapak tidak usah menangis, Rani baik-baik saja!”.
Beliau mengangguk pelan, sembari dibelainya rambutku lembut.
Kini giliran beberapa teman mendekat.
“Rin! Rani istirahat dulu, mungkin terlalu capek!”
“Ting!” Capek, ya capek pikirku.
Aku terlalu capek dan memporsir belajar untuk persiapan UAS (Ujian Akhir Semester). Kemarin, saat minggu tenang, hampir jarang melihat dunia luar. Aku sangat takut, tidak bisa mempertahankan IPK  tiga koma ke atas. Ditambah lagi sepekan terakhir, dengan pikiran-pikiran tentang kematian. Malaikat maut, dosa menggelayuti pikiran. “Astagfirullahaladziem, sepekan lebih hampir tidak pernah terapalkan bacaan qur’an. Aku hanya sibuk dengan rumus, rumus dan rumus. Ya Allah, inilah yang kudapat, aku telah lupa, aku...”. Aku merutuk sendiri.
***
Hampir dua hari aku di rawat. Sesosok berpakaian putih berwajah lembut memasuki ruangan tempat aku terbaring, ditemani dua orang yang juga berpakaian sama dengan sosok tadi. “Dok, bagaimana anak saya dok?” Ibu bertanya dengan nada khawatir.
“Rani, baik-baik saja bu!” Aku yang menjawab.
“Iya Bu, Mbak Rani boleh kok di bawa pulang hari ini!” ucap dokter yang kuketahui bernama dr Ute, dari papan namanya.
Ada senyum yang memancar di wajah kedua orang tuaku. Teman-teman juga senangnya bukan main, demi diketahui bahwa aku tidak apa-apa. Hanya capek!.
Menggunakan mobil tua milik Bapak, aku dibawa pulang ke rumah. Sesampai di depan rumah, suara itu bergema. Itu bukan suara adzan, tapi suara berita kematian. Sekali lagi, tetangga dekat kami yang tak lain adalah sahabat Bapak sejak sekolah meninggal dunia. “Innalillahiwainnailaihi rojiun!, Bapak terlihat sedih.
“Padahal tadi pagi Pak Inggang samaan dengan Bapak sholat jenazah anaknya Pak Mus!”   pelan Bapak berucap, disertai matanya yang masih berkaca. Entah karena saya masuk rumah sakit atau memang beliau sedih karena kepergian sahabatnya. Aku mengeja peristiwa itu : KEMATIAN!.
“Ya Allah akankah, semakin dekat waktuku?” Tanyaku pelan di lubuk hati.
Aku menangis pelan, Ibu yang dari tadi hanya mematung merangkulku.
“Sudahlah Rin, kematian akan datang kapanpun!” tukas ibu mengingatkan.
“Kan Rani yang sering nyeramahin Ibu! Bahwa kematian itu bisa datang kapan saja! Nggeh[3]?” Aku mengangguk. Degup kencang menyelimuti hatiku, seolah baru pertama kali kata-kata itu kudengar. Padahal seperti kata Mama, kalimat itu sering kuperdengarkan saat Mama lupa dan terlalu asyik dengan urusan dunia.
Mama melepaskan pelukannya, dan meminta Aku istirahat di kamar. Kurebahkan tubuhku ringan. Mushaf Al Qur’an, yang sempat menjadi asing selama sepekan kuambil, dan kuletakan kembali. Sambil bangkit untuk mengambil air wudhu. Tubuhku bergetar saat putaran keran mengucurkan air putih bening menyentuh kedua tanganku, Dingin dan menyejukan. Pelan kurapalkan ayat-ayat Allah, tak peduli dengan kesibukan kedua orang tuaku. Mungkin mereka pergi ke rumah Almarhum atau menyiapkan bekal untuk melayat. Aku telah lena dalam rapalan bacaan qur’anku, mencoba mereguk kerinduan dan menghapus kegalauan di hati.
***
Malam tiba. Bayangan tentang kematian kembali dirilis. Kubuka laptop, memutar ceramah Ustadz Annis Matta, Lc. Pilihan tema ceramanya hanya dua. Pertama, tentang Keluarga Sakinah, yang kedua, tentang Menikmati kehidupan. Tentu yang kupilih tentang Menikmati Kehidupan, kalau masalah Keluarga Sakinah sudah sering kudengar.
Ada ungkapan yang begitu menggetarkan di hati, yaitu tentang cita-cita kita sesungguhnya dalam hidup. Bagaimana sebenarnya keinginan kita dalam mempersiapkan hidup. Apa tanggapan kita tentang diri kita, apa sebenarnya yang sudah dilakukan untuk hidup ini, untuk memberikan inspirasikah atau hanya menjadi penyakit bagi orang lain. Beliau meminta kita untuk membayangkan ketika kita telah berada di peti mati. Lalu setiap kerabat, sahabat, teman dekat diminta untuk menyampaikan sambutan. Lalu dengarkan apa yang akan mereka katakan. Sekiranya mereka memberikan apresiasi baik atas jenak hidup kita artinya kita telah bercita-cita menjadi baik, dan sebaliknya.
Aku termenung sendiri, masih dengan mukenah yang kupakai sholat maghrib dan isya.
Kudengar ramai, riuh rendah orang menangis di ruang tamu. Paling jelas terdengar adalah suara Bapak dan Ibu. Betapa dekatnya pak Inggang dengan keluarga kami, wajar orang tuaku begitu merasa kehilangan. Pak Inggang adalah tetangga yang baik, suka membantu. Aku diperlakukannya seperti anaknya sendiri. Pelan kubuka pintu kamar. Ruang tamu penuh sesak dengan orang-orang, “Mungkin orang yang datang melayat ke Pak Inggang terlalu banyak, harus dialihkan ke rumah kami!” pikirku.  Aku melangkah, mendekati Ibu. Ada yang aneh. “Mayat Pak Inggang dibawa ke rumah?”. Kusentuh punggung Ibu “Bu, kok jenazah Pak Inggang dibawa ke rumah!”. Tangis ibu semakin menjadi-jadi.
“Bu, Ibu!” Aku memukul-mukul pundak Ibu, namun tak jua membuatnya menoleh. “Ada yang aneh!” pikirku. Tangganku seolah tak menjangkau pundak Ibu, ringan, tak berbentuk. Kudekati ayah, namun dia juga sama cueknya. Wajah-wajah tetangga tak ada yang peduli denganku, khusyuk melihat onggokan mayat yang ditutup kain putih, yang diletakan persis di tengah ruang tamu .
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun!” bagaikan petir menyambar suara itu  menggema memenuhi kolong langit. “Telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang ananda NuRani Fajriyanti...!”
Kagetnya bukan kepalang, kali ini dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena suara itu, tapi karena nama yang disebut oleh tukang adzan itu adalah namaku, ya namaku. kulihat teman-teman kuliahku datang, berurai air mata. Bu Hemsi juga ada di tengah mereka.
“Aku?.....tidaaaaaaaaaaaaaaaak!”
“Ran!, Rani Sayang kembe[4] Nak!” Seseorang memegang pundakku.
“Ibu, maaf kan Rani, maaf bu!” aku terisak sejadi-jadinya.
“Mimpi buruk ya?” Aku hanya mengangguk pelan, sembari kueratkan pelukan membenamkan wajah di dada Ibu.
“Kematian itu pasti datang!” Jangan lupakan berita yang pernah Rani ucapkan berkali-kali ke Ibu.
Untuk Pak Inggang, semoga tenang jiwamu di alam sana...
Ampenan April 2010


[1] Ngagetin aja ibu ini (Bahasa Sasak/Lombok)
[2] Sudah Bu!
[3] Iya Kan?
[4] Kenapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar