Rabu, 18 Mei 2011

sebuah Cerpen : Jangi


Jangi

Sore itu, hujan lebat mengguyur. Membasahi seluruh geladak kapal yang kutumpangi, perjalanan mudik ke kampung halaman. Pikiran menerawang terbang membayang  akan bercengkrama bersama orang-orang kampung, terutama adiku Erna. Santap sahur bersama nanti malam, di malam terakhir Ramadhan menjadi semacam pecut untuk menyegerakan raga tiba di rumah.
Kepala sedikit pening agak berat. Aku duduk di depan musholah, meperperhatikan para penumpang berteduh di tempat yang seluruh kursinya basah. Kuedarkan pandangan mencari-cari teman-temanku.
Terlihat seorang ibu menggendong bayinya, menggigil, kasihan sekali. Kudekati dan kuberikan mantelku untuk menutup bayinya.
”Terima kasih dek!”, ucapnya pelan.
Aku berjalan melihat-lihat ke lantai dasar Fery. Sebuah keluarga, sepertinya keluarga kaya. Mereka berteduh di dalam mobilnya. Sesekali terdengar suara ombak menghempas dinding kapal. Setiap hempasannya olenglah kapal. Air laut dengan sendirinya terpecah muncrat ke badan kapal. Lidah kilat menyapa bumi, diiringi gemuruh petir bersahutan. Cuaca hari ini sepertinya tidak membawa keberuntungan bagi mereka yang memilih mudik kembali ke kampung halamanya.
Suasana di dalam kapal semakin mencekam, suara awak kapal dari pengeras suara sesekali terdengar, meminta agar seluruh penumpang tenang. mereka juga mengontak kru ASDP di dua pelabuhan. Pelayaran dari Labuhan Poto Tano ke Kayangan terasa panjang. Waktu terasa berhenti sejenak. Aku menaiki tangga , sembari kupegang dan kupijat kepala yang masih sakit nyut-nyut untuk kembali ke depan musholah. Kulihat kembali Ibu yang menyapi anaknya tadi. Bibirnya pucat gemetaran. Aku hanya diam di tempatku berdiri tadi, di depan musholah kapal. Karena di dalam musholah sudah penuh sesak. Pandangan kuedarkan ke sekeliling kapal, kulihat kolompok-kelompok manusia yang basah separuh, dan anak-anak kecil yang merengek dan menangis.
"ooh di situ rupanya teman-teman tertidur"
”semoga tidak terjadi apa-apa”, do’aku pelan.
Peluit panjang tiba-tiba berderit. Seluruh penumpang panik, raungan sirine tanda bahaya ikut menggelegar, akupun terhenyak kaget. Penumpang berhamburan tak karuan mengacuhkan komando dari awak kapal, yang menginstruksikan agar selalu tenang dan segera menuju ke ruang darurat di lantai atas kapal. Aku memandang sekali lagi ibu tadi yang masih kedinginan dibalut selendang coklat, dengan wajah yang penuh harap. Dia memandangku lemah. Satu keluarga yang tadi di lantai dasar berebutan naik bersama isteri dan dua anaknya. Penumpang yang lain berusaha mengambil pelampung. Berebutan pelampung, menjadi pelengkap ketegangan dan kerisauan setiap yang ada di kapal. Suasana panik, bercampur gaduh, takbir memekik lirih. Manusia-manusia yang lari ke sana ke mari mencari tempat berteduh tak tentu.
Tak pernah berpikir akan ada musibah seperti ini di bulan Ramadhan. Bayangan kematian merayap ke relung hati,  teringat dosa yang masih banyak menyeruak, terbayang kisah tragis kapal-kapal terdahulu yang telah mengisi deretan daftar musibah di laut.
Aku memegang satu pelampung. Suasana di dalam kapal bertambah panik, ketika sekeluarga bermobil tadi meaksakan diri untuk menggunakan sekoci duluan.
”kami akan bayar berapa saja, asalkan kami duluan!” ungkap Isteri pasangan itu. Ombak semakin menggila menghantam dinding kapal, hujan turun merintik kadang meradang diikuti angin kencang. Kutengok ke bawah, sudah banyak yang terjun duluan menggunakan pelampung, ada juga yang aku tak tahu masih bernyawa atau tidak, mengapung di laut. Pemandangan ini membutku bergidik.
TITANIC kueja pelan nama kapal pesiar yang pernah tenggelam itu, semoga tidak bernasib sama. Hujan belum reda lampu kapal mati. Hanya pengeras suara charger yang masih berfungsi. Nahkoda kapal dengan tegas bersuara
”Saudara-saudara, penumpang yang terhormat! ukuran kemanusiaan kita, apalagi jabatan kita jangan di bawa-bawa ke sini, kita punya hak yang sama, jadi tetap yang duluan menggunakan sekoci adalah anak-anak, wanita, dan orang tua!”. bentak nahkoda.
”Tapi pak! Tukas penumpang yang lain yang mungkin seorang pengusaha, sambil menenteng laptop di tangannya.
”Saya pulang sangat penting ada proyek yang harus saya kerjakan di Sumbawa!”
Seorang awak kapal memberikan dia pelampung
”Ini pak! anda bisa pakai untuk keselamatan!”
"Sekali lagi biarkan penumpang anak-anak, wanita dan orang tua dulu yang masuk sekoci”.
Aku masih terdiam memikirkan cara cerdas menyelamatkan diri. Ingin juga aku masuk sekoci itu. Tapi aku kan laki-laki.
”oh tidak, ya Allah!".
Kuperhatikan ibu beranak tadi yang di dahulukan naik ke sekoci, berikut anak-anak, wanita, dan orang tua jumlahnya 20 orang. Sekoci diturunkan. Tiba-tiba bunyi dentuman besar, ”Brak!” ombak setinggi 3 meter menghantam kapal. Sekoci itu terhempas dengan sendirinya. Kapal oleng ke kiri dan ke kanan. Kulihat penumpang tumpah ruah ke laut, termasuk yang di sekoci bersamaan teriakan tragis penumpang menyayat hati. Aku terhempas, kepalaku terbentur tiang kapal. Kucoba menahan diri di sebuah tiang besar. Kembali dentuman ombak memecah. Pengllihatanku buram, berat rasanya kepala, gelap.
***
Aku terbangun, kulihati Ibu beranak tadi memandang ke arahku, tersenyum.
”Kau mirip anakku!" Katanya, mirip sekali.
"Tapi dia sudah lama pergi, dan tidak pernah kembali. Kalau dia masih ada pasti dia seumuran kamu. Semua penumpang kapal pergi menjauh dan memandangku, seraya melambaikan tangannya. Bening, putih semua wajah mereka. Semburat pancaran putih ada di wajah mereka. Aku mencoba teriak, suaraku tertahan ditenggorakan, tercekak. Kucoba berteriak agar mereka tidak meninggalkanku.
”Ibu!” Pancaran panas menyilaukan mataku dan terasa menyengat kulit. Aku terduduk, kulemparkan pandangan ke sekitar. Sepi hanya ada kayu kecil dan pelampung warna oranye yang ada di sisiku, aku di mana?. Tumbuhan kecil, dan suara burung saja yang ada. Kepalaku berat dan masih pening. Kulihat badanku, ya Allah pakaianku kemana?.
"tidaaaaaaaaaaaaaaak!!!, tidaaaaaaaaaaaak!!!, tidak !!!!!"
Aku berteriak sejadi-jadinya dengan sisa tenaga dan tenggorokan yang kering  tercekat. Seluruh badanku bergambar. Aku seperti anak kecil, toples tanpa sehelai benang pun. Guratan tatto ular naga lengkap dengan sisiknya yagn menjijikan, di sekujur badan melilit dari leher sampai ke bawah pusar. Aku berteriak, sejadi-jadinya, menggemparkan keheningan sekitar, yang aku tak tahu di mana?. Teriakanku terhenti dan gelap.
***
Aku terjaga, setelah dibangunkan oleh seorang anak kecil.
”Kak, bangunkah kau kak? Aku menoleh ke arah suara. Pandanganku masih samar hanya bayangan yang berbentuk. Laun bayangan itu nampak, seorang bocah ke ia jongkok di depanku. Anak yang masih berumur kira-kira 9 tahun langsung menyerbu.
” Kak, Kakak diminta  ramuan!.
 ”Aku di mana?” tanyaku serak.
”Kakak di rumah kita di kampung malayu Batam”. ”Batam?, kok bisa? Aku mencoba mengingat semuanya, terpampang jelas saat di atas kapal, ibu bersama anaknya, keluarga kaya, dan terakhir terhempasnya kapal naas itu. Ya Allah, ” Kakak ini sudah dimana?.
”Kau minum dulu ramuannya itu”. seorang bapak paruh baya mendekatiku.
”Ananda tak sedarkan diri mungking tiga hari, Ibu yang menemukanmu di pinggir laut”.
”Aku sudah membersihkan tubuhmu”, tapi... Sudahlah,  oh ya maaf nak di minum dulu supaya lebih kuatlah kau.” sebuah tanda tanya muncul dari kata ’tapi’ yang terhenti tadi. Kulihat wajah bapak tua, dengan pancaran mata yang penuh dengan kebaikan. 
Maafkan Said, anak ini masih kecil. Dari kemarin dia ingin sekali lihat kamu bangun.” kata-kata bapak tua, mengalir cepat. Aku meneguk ramuan yang diberikan bapak itu, rasanya seperti jahe campur gula dan madu. segar rasanya ditenggorokan. ’perutku tiba-tiba berbunyi, keroncongan rupanya.
”Bagaimana Nak, segar?”, i.. iya pak, tapi...” Kamu lapar? potong bapak tua, Seolah-olah bapak ini tahu jalan pikiranku, itu Mak mu membawakan makanan. Seorang wanita seusia ibuku dengan jilbab ungu membawakanku makanan berjalan mantap.
”Nak, siape kau bername” tanya ibu itu.
”Hasan, Bu” jawabku.
 ”Sudah, nanti kita lanjutkan ngobrolnya, kau makanlah dulu supaya kuat yah.” lanjut bapak .
”Terima kasih pak ......”.
”Pak Husein” katanya, seraya memperkenalkan diri.
Mereka keluar, lupa meminta jawaban, tinggal Said yang masih tinggal.
”Kak Ziad, kok lama sih perginya?, kakak ke mana sih melautnya” sambung said. Aku terbatuk, nasiku meremah.
”Kak Ziad mau minum? Nih minumnya, Nanti kalau kakak dah selesai makan kita main perang-perangan di laut ya...”.
”Said keluar dulu kak”. Sergah anak itu sembari berlalu. Aku makan dengan lahapnya, semua suguhan Mak ludes.
”Ziad?, Ziad siapa? Kok..... aku dipanggil ziad, aneh....?”. Aku teringat keluarga di rumah. Sekarang seharusnya aku di rumah, makan sepat –makanan berkuah khas sumbawa- bersama Erna adikku semata wayang, yang masih duduk di bangku SMP, aku sudah janji membawakan dia hadiah. Tapi....kecelakaan itu telah merenggut segalanya. ”Idul Fitriku, hadiah adikku, dan cintaku” aku menggerutu di dalam hati. Aku mencoba bangkit, dan aduh, musibah apa lagi aku masih dalam kondisi tak berapakaian dan tatto itu ya Allah, Tidak! Hatiku berteriak hebat. Air mataku jatuh, wajah ibuku dengan mukenah putihnya masih terngiang. Malam itu bersama adikku Erna, beliau melepas kepergianku, untuk berangkat kuliah ke pulau seberang, Pulau Lombok.
Ace, to mu bajangi nakalupa balong-balong pang desa tau, sangaro jaga adimu lamin no monda aku !” aku hanya mengangguk pelan, aku tak berani menatap ibu terlalu lama. Air mataku tak tertahan.
”Iya Bu itulah jangiku kepada ibu”.
”Nak Hasan kok menangis” suara perempuan lembut menyapaku. Aku merapikan selimut di tubuhku. Dan kuperhatikan ibu itu tersenyum sayang. Nanti, sama bapak ke pasar untuk membeli bajumu ya. ”Aku hanya mengangguk masih belum mengerti, kebaikan apalagi ini.” Aku telah diselamatkan dari bencana oleh Allah, dan sekarang aku dibawa ke rumah nelayan kaya. Bahkan kamar tempat aku tertidur ini terlalu besar buatku. Aku yang terbiasa tidur di kamar kost-kostan kecil, makan seadanya itupun tidak teratur, apalagi tempat aku kerja, sulit sekali mengatur waktu makan. Aku kerja sambilan, karena paginya aku kuliah di jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNRAM. Memang sebuah pilihan sulit, sekaligus menantang.
”Nak Hasan kamarnya di sini, dan tidur di sini” ibu itu mendekatiku dan memegang pundaku, bersamaan dengan lepasnya selimut dari dadaku sampai pusar. Terlihatlah dengan jelas gambar tato naga di sekujur tubuhku. Dengan sigap aku menaikan selimut kembali. Wajah ibu itu berubah, menatapku tajam.
”Hei.....!, Ziad tidak punya gambar ditubuhnya, kenapa kau bergambar! Ibu membentaku.
”Kamu keluar dari kamar anakku!, kau berandal!, kau telah merusak anakku!” teriaknya lagi.
 ”Maaf Bu, Hasan salah apa? Aku mencoba bangkit bersama selimut di tubuhku, memperhatikan guratan kemarahan di wajahnya.
”Iya bu, Hasan keluar” aku mencoba melembutkan suaraku seraya lari meninggalkan beliau dalam marahnya. Di depan pintu aku berpapasan dengan Pak Husain dan Said.
” Hendak kemana kau Nak? Belum sempat aku menjawab, Ibu keluar dan ...
”Pergi kau!”. teriaknya keras.
 Bapak melerai, ”Mak ni kenapa? Kok marah-marah sama Hasan,
”Apa salah nya dia”. ”
”Dia bergambar Pak, dia berandalan itu,  yang melempar Ziad ke lautan!” beliau bertambah berang.
”Mak!, Istighfar, Hasan baru saja terkena musibah, jangan salah nuduh lah kita” terang bapak dengan bijak.
Sejurus kemudian, kemarahan Ibu mereda, aku memperhatikan wajah beliau. Nafasnya masih naik turun. Ingin rasanya kukeluar dari rumah ini kala itu. Tapi kondisku, tidak memungkinkan. Said mendekat dan menggenggam tanganku.
” Kakak jangan pergi lagi ya, aku tak mau kakak melaut lagi, nanti kakak tenggelam lagi”, dia menangis kecil mengajakku kembali ke kamar. Bapak Husain memberikan Isyarat agar aku kembali ke kamar, aku mengangguk pelan. Ibu dan Pak Husein kembali ke kamar mereka.
Tiba-tiba  pak Husain sudah kembali lagi ke kamar, mendapati Said yang sedang menangis di sampingku.
”Sudah Said, jangan nangis lagi kau! Kak Ziad kan tidak jadi pergi”. Said berhenti menangis, suara tarikan nafasnya masih terdengar parau.
”Said main di luar dulu nak ya, bapak mau bicara sama Kak Ziad”, dia langsung pergi dan menciumi tangan kami berdua.
***
”Nak, bisa anak cerita, kenapa ada bergambar di tubuh kau?”, aku mencoba mengingat-ingat, dalam dan jauh sekali memori tentang kisah ini. Akhirnya ketemu, aku baru ingat pada saat mudik ke Sumbawa itu, aku bersama 3 orang teman kerja,  pulang bersama, menumpangi kapal yang sama. Mereka memang agak berandal. Pernah suatu ketika mereka mengajak aku minum di tempat kerja, dan meminta aku bertato. Aku tak pernah mau, karena aku senantiasa ingat akan pesan ibu. Dan permintaan mereka tentang yang satu ini memang tidak pernah aku gubris. Dan mereka selalu mencari cara untuk membuat gambar haram itu ditubuhku. Aku juga ingat di atas kapal saat itu mereka memberikan aku sebotol minuman ringan yang menyebabkan aku tak sadarkan diri. Dan aku tersadar, dalam kondisi kapal hujan karena aku tertidur di dek dasar kapal, dan aku tidak pernah memperhatikan keadaan di sekujur tubuh, karena pakaian masih membalut tubuh. Hingga gelombang laut menghantam dan mengantarkan aku sampi ke tempat pak Husein. Aku menceritakannya ke pak Husein dengan hati hancur.
”Aku tak pernah minta gambar ini pak! Tidak pernah pak!, Bahkan kalau ada tubuh pengganti, aku mau diganti”
 ”Sekali lagi aku tak pernah minta pak, tak pernah!", aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan pak Husein. Beliau memelukku erat. Ya Allah, penuh rasanya keharuan ini menyelimuti hatiku, dan rasa syukur diberikan anugerah ini. Dipertemukan dengan orang sebaik pak Husein.
”Ya sudah, sabar Nak ya aggap saja Bapak ini Bapakmu juga, maafkan Mak,  Dia masih trauma melihat tatto di tubuh kau, karena dulu yang melempar Ziad kakaknya Said ke laut itu adalah orang-orang bertato katanya. Sampai sekarang mayat Ziad belum ditemukan sejak 6 tahun yang lalu, dan ibu tidak pernah melupakan kejadiannya. Jika Ziad masih hidup, umurnya seusia kau. ”Maafkan Mak!” kata-katanya berakhir bersamaan denga jatuhnya bulir bening dari mata tuanya. ”Sudahlah Nak, sekarang kita ke pasar beli pakaian kamu!”.
***
Esoknya ibu datang ke kamar, dan memelukku. Maafkan Mak, Mak emosi. Bapak sudah cerita semuanya. Sekali lagi maafkan Mak. Aku hanya diam melihat perubahan pada ibu. Aku hanya diam menatapnya haru.
“Oh iya nanti siang Barik, kakaknya Said mudik dari Jakarta. Nanti antar Bapak jemput dia di terminal ya! Sekarang kamu makan dulu, nanti Said akan mengajakmu mutar-mutar ke kampung nelayan. (Bersambung)